Hari-hari ini dunia kesehatan banyak diperbincangkan di banyak forum. Mendadak semua orang peduli kesehatan. Gara-gara wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang mulai merajalela dua tahun lalu, masyarakat kini ramai-ramai berburu informasi kesehatan tersahih dari banyak sumber. Segala cara dilakukan untuk mendapatkan penanganan promotif, preventif, dan kuratif sekaligus.
Salah satu narasumber yang memperoleh berkah di era Covid-19 ini adalah PT Obat Inovasi Indonesia (OII). Kendati tidak berhubungan langsung dengan situasi yang terjadi sekarang, startup yang bergerak di bidang pendidikan farmasi ini mengakui mendapat imbas positif dari ramainya orang bicara kesehatan. Paling tidak, OII kini semakin dikenal dan dicari masyarakat luas.
Ridho M. Sakti, CEO PT Obat Inovasi Indonesia, menggambarkan, potensi pasar industri farmasi memang sangat besar. Tahun lalu, nilai pasar obat, misalnya, mencapai Rp 80 triliun. Dan, nilai pasar alat kesehatan sebesar Rp 40 triliun. Nilai sebesar itu belum termasuk lain-lain, seperti apotek dan herbal. Total nilai pasar industri farmasi dan kesehatan diperkirakan mencapai lebih dari Rp 500 triliun.
OII didirikan Ridho yang lulusan Apoteker Farmasi Universitas Indonesia bersama tiga kawannya: Saiful Robbani sebagai Chief Marketing Officer (lulusan S-1 & Apoteker Farmasi Universitas Padjadjaran), Riri Nurul Suci sebagai Chief Finance dan Ops Officer (lulusan Apoteker Farmasi UI), dan M. Faris sebagai Chief Technology Officer (lulusan Fakultas Ilmu Komputer UI). Pertemanan di antara mereka sudah berlangsung cukup lama.
“Kami bertemu ketika berada dalam satu kepengurusan organisasi mahasiswa nasional waktu dulu. Walaupun berbeda kampus, kami terus melakukan komunikasi, saling bertukar ide untuk membuat sesuatu,” ungkap Ridho, semringah.
“Karena waktu itu kami masih kuliah (2016), orientasi kami masih sederhana, hanya membuat apa yang bisa dilakukan saat itu, yaitu farma edutech,” tambahnya. Setahun kemudian, tahun 2017, lahirlah OII.
Sejak pertama diluncurkan, OII diancangkan sebagai perusahaan teknologi yang membidangi pendidikan farmasi (SMK Farmasi, D-3, S-1, Apotek), aplikasi software, media, pusat layanan kerja, hingga komunitas. OII hadir untuk menyelesaikan semua permasalahan farmasi dan kesehatan Indonesia dengan solusi inovatif. Para founder-nya yang rata-rata masih muda tergerak karena melihat ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan.
“Kami melihat akses pendidikan di Indonesia belum merata sehingga melalui teknologi diharapkan bisa untuk pemerataan pendidikan tersebut,” kata Ridho. Awalnya, pihaknya hanya membuat bimbingan pembelajaran S-1 dan apoteker gratis. Ketika itu melalui platform Line. Namun, ternyata ketika pertama kali rilis, peminatnya banyak sekali.
“Di awal kami fokus di ujian apoteker. Di mana dalam setahun itu ada 6.000 apoteker yang akan mengikuti ujian dan 98%-nya menggunakan platform kami,” Ridho menjelaskan. Setelah booming, ia dan kawan-kawannya menyadari ada aroma bisnis di sana, sehingga dikembangkan revenue model, business model, dan visi-misi kegiatan.
“Akhirnya, bermula dari ujian apoteker, berkembang ke SMK, D-3 Farmasi, S-1, Apoteker hingga profesionalnya,” katanya.
Setelah dikaji lebih jauh, rupanya potensi pasar OII cukup besar, sekitar 1,2 juta orang. Padahal, saat ini OII baru menggarap 130 ribu orang. Dikatakan Ridho, peluang bisnis yang digelutinya masih sangat besar. Apalagi, modal yang dibutuhkan tidak besar. Produksi membuat platform website hanya ratusan ribu rupiah; dan di awal-awal mereka berhimpun tidak ada yang bergaji, karena saat itu masih mahasiswa.
“Investasi terbesar justru intangible asset, yaitu individu-individunya,” ujarnya. Saat ini OII menargetkan jika di bulan ketujuh tidak tumbuh, akan susah untuk sustain.
Model bisnis yang dikembangkan relatif sederhana dan mudah diakses. Diakui Ridho, awalnya hanya hard skill sebagai pengembang pembelajaran di sekolah ataupun kampus. Namun, sekarang sudah dikembangkan ke soft skill-nya.
“Salah satu visi kami adalah create farmasi future leaders, bagaimana nantinya siswa siap di lapangan, menjadi pharmapreneur sehingga kami hubungkan praktisi-praktisinya yang bekerja di rumah sakit, pemerintah,” kata Ridho.
Baginya, perkembangan yang terlihat sekarang sudah cukup menggembirakan. Upaya pengenalan Obat Apps sudah cukup masif. Selain bekerjasama dengan universitas, OII juga memiliki network ke para praktisi. Mereka punya andil yang sama tetapi tidak ada wadah untuk sharing ilmunya.
“Jadi, mereka yang hubungi kami, misalnya kepala instalasi (farmasi), pejabat pemerintahan, hingga politisi apoteker. Kami baru tahu bisa berkembang luas juga karena mengembangkan bisnis,” Ridho menjelaskan.
Ketika mengembangkan platform ini, OII bertemu dengan berbagai asosiasi dan lembaga, antara lain lembaga pendidikan menengah farmasi. “Kami diundang oleh asosiasi-asosiasi/lembaga-lembaga itu untuk presentasi,” ujar Ridho. Biasanya dalam kesempatan itu pihaknya memaparkan visi-misi OII.
Perlu diketahui, kata Ridho, OII tidak seluruhnya komersial. Pihaknya juga menyediakan beasiswa gratis bagi yang membutuhkan. Untuk yang berbayar di aplikasi mulai dari Rp 50 ribu, ada pendampingan CPNS, sampai yang paling mahal Rp 2,5 juta.
Kelasnya juga ada yang private, ada juga yang satu kelas 10 orang. Dan, selain ada online, OII pun ada offline-nya. Total mitranya saat ini ada 800 sekolah SMK, D-3 sekitar 150 kampus, dan apoteker sekitar 50 kampus. Adapun penggunanya sebanyak 139.700 orang: terdiri dari 62.333 apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TTK) serta 77.367 orang dari SMK Farmasi, D-3, S-1, dan Program Studi Profesi Apoteker.
Untuk peminat dari luar Jawa, OII membantu menyiapkan infrastrukturnya. “Bukan hanya platform untuk mahasiswanya, tetapi juga kami menyiapkan kompetensi untuk dosen-dosennya. Bahkan, sampai ada lowongan pekerjaannya, karena kami banyak memiliki mahasiswa dan praktisi yang memiliki info lowongan kerja. Jadi, kami menghubungkan ekosistemnya,” Ridho memaparkan.
Sejauh ini, rata-rata dari semua yang mengikuti uji kompetensi, hanya 60% yang lulus. Bagi Ridho, uji kompetensi seperti ini diharapkan dapat menciptakan SDM yang bagus di masa depan. Jadi, bukan perkara kelulusannya, melainkan lebih penting dalam prosesnya. “Result itu penting tetapi bagaimana kami membuat sistem pembelajaran yang menarik dengan online dan offline mereka bisa lulus,” katanya tandas.
“Kami ada journey belajar, ada modul digital. Setelah mereka membaca, dilanjutkan dengan kuis. Kemudian, ada video pembelajarannya juga. Setelah itu, ada pertemuan dengan supermentor dan ada evaluasi serta diskusi,” Ridho menjelaskan proses belajar-mengajarnya.
Yang menarik, menurutnya, modul ini juga memberikan evaluasi terkait keaktifan dan kehadiran. “Jadi, kami tidak hanya konsen di hasil akhir, tetapi prosesnya juga didampingi,” ujarnya. Kini OII memiliki 600-an supermentor, yang merupakan praktisi atau dosen.
Pihaknya juga bekerjasama dengan Asosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia, Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Goapotik, DexaMedica, dan Apotek K24.
Ridho optimistis ke depan OII bakal semakin banyak memberikan kontribusi pengembangan SDM di bidang farmasi dan kesehatan. Selain itu, dari sekarang pihaknya juga sudah siap ekspansi di luar dunia pendidikan. Ada tiga divisi baru yang dikembangkan, yakni Obat Apps, Farmaklik, dan Apotek Digital.
Obat Apps, seperti telah disampaikan, merupakan platform website yang membantu proses belajar para pegiat farmasi. Aplikasi ini sudah dapat ditemukan di Play Store maupun Google Play. Adapun Farmaklik secara platform memberikan kontribusi terbesar, dengan revenue Rp 5 miliar-10 miliar per bulan.
Dan, yang terbaru adalah Apotek Digital. Saat ini OII sedang menggarap pengembangan apotek online dan offline. Dengan Apotek Digital, OII memprakasai manajemen dan sistem informasi apotek. Mengapa?
Selama ini banyak apotek atau pemilik apotek yang masih kesulitan dalam menyelesaikan masalah di kasir (keuangan) dan manajemennya. “Nah, kami akan membantu mengembangkan sistem informasi agar terintegrasi semuanya,” ujar Ridho. Saat ini pihaknya sudah bekerjasama dengan 25 prinsipal, 40-an distributor, dan 12 ribu apotek.
Adapun untuk apotek offline, OII juga sudah siap berinvestasi. Tahun ini berkolaborasi mendirikan empat apotek; satu di antaranya adalah apotek sendiri. Rencananya, tahun 2022 akan dikembangkan 10 apotek baru lagi.
Melihat perjalanan empat tahun terakhir, Ridho dan teman-temannya percaya bahwa setiap masa akan menemukan tantangan yang berbeda. Salah satu tantangan yang meninggalkan kesan mendalam: rata-rata owner apotek merupakan generasi babyboomer. Edukasi mereka menjadi tantangan. “Dari sisi bisnis ini merupakan high potential dan nampaknya ini butuh banyak pemain,” ungkapnya.
Selain itu, tantangan SDM juga sangat mendesak. Umumnya, lulusan dari kampus terbaik —khususnya nonfarmasi— enggan bergabung dengan OII. Mereka memilih tempat kerja yang terjamin kelangsungan hidupnya.
“Jadi, soal SDM ini menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah kami agar bisa melahirkan dan mengajak SDM-SDM terbaik gabung di perusahaan kami,” kata Ridho. (*)
Dyah Hasto Palupi/Sri Niken Handayani