EKBIS.CO, JAKARTA — Perkembangan asuransi syariah dilihat semakin pesat. Tetapi sebenarnya, apakah prinsip kerja asuransi syariah ini memang boleh dalam Islam atau hanya diada-adakan? Menurut Cindy F. Santoso FLMI AWM CFP QWP Learning & Development Astra Life, praktik selayaknya berasuransi sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Di zaman Nabi, terutama saat hijrah ke Madinah, menurut Cindy, ada praktik keuangan seperti penjaminan, mengumpulkan dana, kontrak pegawai, transaksi institusi. Ada juga yang namanya pengumpulan makanan atau usaha penjagaan barang hingga jaminan keselamatan lalu lintas. Jadi, ada konsep di mana manusia perlu berjaga-jaga.
“Namanya dulu mungkin bukan asuransi tapi akhirnya jadi cikal bakal asuransi syariah saat ini,” kata Cindy, beberapa waktu lalu.
Sejak zaman Rasul, ada konsep tolong menolong, di mana peserta yang terlibat memiliki niat saling menanggung risiko. Dalam praktik tolong menolong itu, para peserta yang terlibat turut menghibahkan harta masing-masing, yang nantinya akan digunakan sebagai pembayaran atau klaim andai ada yang terbunuh atau sakit akibat peperangan.
Di era modern seperti sekarang, perusahaan asuransi berperan sebagai pengemban amanah untuk mengelola dana yang diberikan peserta. Pengelolaannya dipastilan sesuai prinsip syariah. Mengenai akadny, pengelola mendapat upah dari upaya pengelolaan itu sendiri.
Cindy melanjutkan dasar hukumnya ada dari Alquran maupun hadits, kendati tidak dijelaskan secara eksplisit. Tetapi menurut Cindy, ada beberapa ayat dan pernyataan yang sudah masuk prinsip asuransi syariah.
“Seperti surah Al-Maidah ayat 2 dan An-Nissa ayat 9 tengang tolong menolng, jadi tidak boleh meninggalkan orang-orang lemah, atau keluarga yang ditinggalkan bisa ditimpa kemalangan,” lanjut Cindy.
Dari HR Muslim, Cindy melanjutkan, akan ada timbal balik bagi orang yang melepaskan atay meringankan beban orang lain yang ditimpa kesulitan. Di Idonesia, asuransi syariah sudah ada sejak 1994 yang dalam pelaksanannya tidak boleh melenceng dari regulasi yang ada. Terdapat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai dari 2001 sampai 2006 yang juga mengatur perihal timbal balik. Regulasi lainnya terkait UU dan OJK.
Tujuannya pada akhirnya adalah mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Bicara kemaslahatan biasanya terkait dengan kebaikan, melindungi agama, jiwa, harta pikiran dan akal untuk keturunan. “Jadi itu semua terkait dengan definisi asuransi syariah,” jelas dia.
Ada unsur keseimbangan, keadilan dalam asuransi syariah. Prinsip lainnya, tidak boleh ada yang mengalami kerugian, kesulitan dari asuransi syariah itu sendiri.
Demikian juga prinsip keuniversalan, yakni bisa dinikmati dan digunakan seluruh manusia, tidak terkotak-kotak, bukan khusus hanya bagi umat Islam. Pada dasarnya, asuransi harus memberikan manfaat kepada banyak orang.
Ustaz Adiwarman Karim, Perwakilan Dewan Pengawas Syariah mengatakan telah banyak perbankan yang melakukan konversi menjadi instrumen syariah. Peluang itulah yang juga bisa ditangkap industri asuransi. “Apa yang terjadi di bank, setahun dua tahun kemudian terjadi di asuransi,” kata Ustaz Adiwarman.
Ustaz Adiwarman mengatakan prinsip asuransi jiwa, misalnya, sejalan dengan ajaran Islam tentang membantu sesama. Ketika orang dapat musibah, merasa sedih, maka dia tidak akan merasa sendirian.
Ibadah bukan hanya shalat, mengaji, umrah tetapi juga memberi manfaat kepada manusia lain. Saat berbuat kebaikan, maka seyogianya tidak berharap balasan dari orang lain. Terkait melepas kesulitan ini juga tertuang dalam Q.S Ar-Rahman ayat 60.