Selasa 24 May 2022 19:46 WIB

Larangan Ekspor CPO Dicabut, Petani: Harga TBS Masih Rendah

Pencabutan larangan ekspor CPO jadi momentum merombak tata kelola persawitan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang petani bersiap untuk membawa buah sawit yang baru dipanen di perkebunan kelapa sawit di Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Keputusan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) resmi berlaku kemarin, Senin (23/5). Namun, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjelaskan,  harga tandan buah segar (TBS) sawit di beberapa wilayah di Indonesia masih rendah, walaupun ada kenaikan namun perubahannya masih kecil.
Foto: EPA-EFE/DEDI SINUHAJI
Seorang petani bersiap untuk membawa buah sawit yang baru dipanen di perkebunan kelapa sawit di Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Keputusan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) resmi berlaku kemarin, Senin (23/5). Namun, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjelaskan, harga tandan buah segar (TBS) sawit di beberapa wilayah di Indonesia masih rendah, walaupun ada kenaikan namun perubahannya masih kecil.

EKBIS.CO,  JAKARTA --  Keputusan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) resmi berlaku kemarin, Senin (23/5). Namun, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjelaskan,  harga tandan buah segar (TBS) sawit di beberapa wilayah di Indonesia masih rendah, walaupun ada kenaikan namun perubahannya masih kecil.

"Di beberapa desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara terjadi kenaikan Rp 50 per kg, dan ada juga yang harganya tetap. Harga di tingkat petani bervariasi di kisaran Rp 1.700 per kg sampai Rp 2.000 per kg. Sementara harga di loading ramp di kisaran Rp 2.000 per kg hingga Rp 2.200 per kg," kata Henry dalam keterangan resminya, Selasa (24/5/2022).

Baca Juga

Henry melanjutkan, dari Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS masih berkisar Rp 1.750 per kg, sementara untuk langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) di kisaran Rp1.950. Sementara di Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu, harga TBS sudah ada yang Rp 2.300 per kg jika diantarkan langsung ke PKS.

"Kalau di Jambi, harga TBS juga tidak lagi mengalami penurunan. Di Tanjung Jabung Timur harga TBS tetap Rp 1.625 per kg,  di Muara Bungo Rp2.200 per kg, dengan kenaikan Rp 100 per kg. Begitu juga di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Barat, kenaikan mulai dari Rp 75 per kg sampai Rp 250 per kg," paparnya.

Henry menyampaikan, dalam pidatonya yang mengumumkan pencabutan larangan CPO pada 19 Mei lalu, Presiden Jokowi berjanji untuk tetap mengawasi dan memastikan pasokan minyak goreng terpenuhi dengan harga yang terjangkau.

"Tantangan bagi pemerintah bagaimana harga minyak goreng berada dan stabil di harga Rp 14 ribu per kg. Jika tidak, pada akhirnya rakyat kecil dan terkhusus keluarga petani dan buruh kembali mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng," katanya.

Ia melanjutkan, secara spesifik presiden juga menyebutkan ‘pembenahan prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar terus disederhanakan dan dipermudah’.

"SPI meminta presiden agar pemerintah membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani. Selain itu, BPDKS untuk mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil, karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel," katanya.

Henry menambahkan, peristiwa berkurangnya cadangan dan harga minyak goreng yang tidak terkontrol oleh pemerintah ini, yang disusul dengan kebijakan palarangan dan pencabutan kebijakan pelarangan ekspor CPO harus dijadikan sebagai momen untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.

"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya," ujarnya.

"Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA). Korporasi mengurus industri pengolahan lanjutannya saja seperti pabrik sabun, obat-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya saja," kata Henry.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement