EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pengetatan kebijakan moneter yang terlalu cepat dan ketat tidak berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat inflasi.
Sebab, kata dia, tingkat inflasi yang meninggi di berbagai negara disebabkan oleh produksi atau suplai yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan. Sementara percepatan pengetatan moneter hanya akan menyasar sisi permintaan.
"Kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat mempengaruhi sisi demand(permintaan), sebetulnya tidak menyelesaikan masalah sisi suplainya," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (8/6/2022).
Ia menuturkan, suplai komoditas unggulan seperti minyak mentah, gas, batu bara, gandum, dan jagung, tertahan karena perang Rusia dan Ukraina dan pandemi Covid-19. "Jadi inflasi di dunia saat ini dikontribusi dari sisi produksi atau suplai itu lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi permintaan akibat perang maupun pandemi," ujar Sri Mulyani.
Ia menyampaikaninflasi akan selalu menjadi topik utama yang dibicarakan dalam forum-forum internasional, termasuk dalam G20 hingga tahun depan. Tingkat inflasi ini juga dibahas dalam roundtable governor discussion saat pertemuan Islamic Development Bank (IsDB), yang merembet pada pembahasan seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter yang perlu diambil bank-bank sentral untuk menjinakkan inflasi.
"Jadi nanti kita akan lihat dampaknya kepada pembahasan kita adalah tadi, kalau seandainya pengetatan cepat dan tinggi, ketat, maka dampak terhadap pelemahan ekonomi global akan terlihat spill over ke seluruh dunia," jelas Sri Mulyani.
Ia juga mengatakan sempat berbicara soal inflasi dengan beberapa menteri keuangan lain dalam pertemuan IsDB. Menteri Keuangan Turki Nureddin Nubeti bercerita tentang inflasi di negaranya yang sudah tembus 74 persen year on year karena energi seperti BBM dan gas tidak disubsidi oleh negara.
Sementara itu Menteri Keuangan Mesir bercerita terkait dampak kenaikan harga gandum dan minyak sehingga memutuskan untuk memberikan subsidi energi kepada warganya. Akibatnya defisit anggaran Mesir jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.
"Yang terjadi sekarang ini adalah memang pemulihan ekonomi dunia berjalan, tapi diiringi dengan kenaikan harga-harga komoditas yang melonjak sangat tinggi, terutama semenjak Februari terjadi serangan terhadap Ukraina oleh Rusia," sebut Sri Mulyani.