EKBIS.CO, KOLOMBO -- Sri Lanka membutuhkan setidaknya 5 miliar dolar AS atau setara Rp 72 triliun selama enam bulan ke depan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya di tengah krisis ekonomi terburuk yang dihadapi negara kepulauan tersebut.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada parlemen, uang itu dibutuhkan untuk membeli bahan pokok seperti makanan, bahan bakar, dan pupuk. Mei lalu, Sri Lanka gagal membayar utang internasional untuk pertama kali dalam sejarahnya.
Sri Lanka telah mengadakan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada Selasa (7/6/2022). Wickremesinghe yang juga menteri keuangan negara itu mengatakan, negaranya memerlukan lebih banyak uang tahun ini untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Wickremesinghe mengatakan, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa itu membutuhkan 3,3 miliar dolar AS untuk impor bahan bakar, 900 juta dolar AS untuk makanan, 600 juta dolar AS untuk pupuk, dan 250 juta dolar AS untuk gas.
PBB berencana membuat imbauan di seluruh dunia untuk membantu Sri Lanka. Lembaga internasional itu juga telah menjanjikan 48 juta dolar AS untuk memenuhi kebutuhan makanan, pertanian dan perawatan kesehatan.
Wickremesinghe memperingatkan pelaku bisnis dan kalangan pekerja terkait kemungkinan perlambatan pembayaran upah. Akibat krisis ini, dana harus dialihkan untuk membayar persediaan makanan.
"Banyak orang akan kekurangan makanan, jadi program makanan yang kami rintis akan memastikan bahwa semua keluarga, bahkan jika mereka tidak memiliki pendapatan, mereka akan memiliki makanan," kata Wickremesinghe dikutip BBC.
Sri Lanka sedang berjuang mengatasi krisis ekonomi terburuknya sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Ekonomi negara itu terpukul keras oleh pandemi, kenaikan harga energi, dan pemotongan pajak populis.
Kekurangan obat-obatan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya juga telah mendorong biaya hidup ke rekor tertinggi. Tingkat inflasi naik 39,1 persen yoy pada Mei. Pada saat yang sama, harga pangan di kota terbesarnya Kolombo meningkat 57,4 persen.