EKBIS.CO, JAKARTA -- Penggunaan transaksi Local Currency Settlement (LCS) terus didorong untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti mengatakan LCS semakin diminati namun masih butuh lebih banyak sosialisasi.
"Kita ingin ada percepatan penggunaan LCS oleh pelaku usaha karena melihat minat yang sangat tinggi sejauh ini," katanya dalam West Java Industrial Meeting 2022, Rabu (15/6).
LCS adalah salah satu kebijakan dalam pendalaman pasar keuangan yang dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. BI terus mendorong percepatan transaksi bilateral menggunakan LCS tersebut mengingat kondisi ketidakstabilan global yang terjadi saat ini.
Penggunaan LCS juga dioptimalkan untuk mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi perdagangan maupun investasi di Indonesia. Destry mengatakan dari total ekspor impor, sebanyak 80-90 persennya menggunakan mata uang dolar AS.
Padahal ekspor ke AS hanya 10 persen dari total nilai ekspor nasional dan impor hanya lima persen. Dominasi tersebut menyebabkan ketergantungan sangat tinggi pada mata uang AS yang kini nilainya sedang tidak menentu dan cenderung terus menguat.
BI mendorong agar LCS lebih banyak berperan sejak diluncurkan pada 2018. Destry menyebut, dalam dua tahun terakhir, minat terhadap LCS sangat tinggi dilihat dari kenaikan yang mencapai tiga kali lipat.
BI juga berkomitmen terus mengembangkan fitur dan layanannya sehingga bisa semakin diminati pasar. Destry mengatakan, pengembangan tidak cukup tanpa dukungan dari pemerintah baik dalam bentuk insentif maupun lainnya.
Pada 2020, nilai transaksi LCS hanya 797 juta dolar AS dan meningkat tiga kali lipat jadi 2,35 miliar dolar AS pada 2021. Pada 2022, hingga April nilar transaksinya sudah lebih dari satu miliar dolar AS. Jumlah pelaku pasar yang menggunakan LCS juga terus meningkat pesat.
"Dalam dua tahun terakhir, awalnya hanya 400-500 pelaku pasar, di April 2022 menjadi 1.500 nasabah, dan lebih dari 450 ada di Jawa Barat," katanya.