Kamis 23 Jun 2022 13:54 WIB

Harga TBS Kian Anjlok, Petani Frustrasi Hingga Berteriak di Tengah Kebun

Harga TBS anjlok hingga Rp 1.200 per kg di pabrik dan Rp 600 di penadah

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Massa aksi yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Dalam aksinya, massa menuntut kepada pemerintah untuk melarang ekspor minyak goreng dan Crude Palm Oil (CPO) yang berdampak pada anjoloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa aksi yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Dalam aksinya, massa menuntut kepada pemerintah untuk melarang ekspor minyak goreng dan Crude Palm Oil (CPO) yang berdampak pada anjoloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Republika/Thoudy Badai

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Harga tandan buah segar (TBS) sawit belum mengalami perbaikan meskipun larangan sementara eskpor minyak sawit atau CPO telah dicabut sebulan yang lalu. Harga TBS bahkan dalam tren penurunan dan membuat petani sawit frustrasi.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, menuturkan, dalam tiga hari terakhir, harga TBS anjlok hingga Rp 250 per kg hingga menyentuh Rp 1.200 per kg di pabrik. Sementara harga di tingkat pedagang pengumpul lebih rendah, yakni Rp 600-Rp 700 per kg.

"Ini hal yang sangat mencekam banyak petani stress, linglung, sampai berteriak-teriak di tengah kebun," kata Gulat kepada Republika.co.id, Kamis (23/6/2022).

Gulat menjelaskan, petani mengalami frustrasi utamanya bukan karena harga TBS yang saat ini rendah. Namun, rasa ketidakadilan yang diterima petani menjadi pemicu utama.

Pasalnya, harga CPO dunia saat ini cukup tinggi di level Rp 21.400 per kilogram (kg). Sementara, harga tender di Indonesia hanya sekitar Rp 9.600 - Rp 11 ribu per kg. "Artinya ada selisih yang besar antara harga CPO internasional dan CPO dalam negeri sekitar Rp 11 ribu per kg," kata Gulat.

Menurutnya, selisih yang besar itu karena adanya beban biaya-biaya yang membuat harga jual CPO Indonesia menjadi lebih rendah. Di antaranya, pungutan ekspor sebesar 200 dolar AS per ton, bea keluar sebesar serta  flush out (FO) sebesar 200 dolar AS yang seluruhnya diserap oleh pemerintah.

Selain itu, menurut Gulat, kebijakan domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) turut melemahkan harga sawit Indonesia.

"Penyebab lain dari masih rendahnya harga CPO (dan TBS) karena ekspor belum berjalan normal. Informasi terakhir ada 1,2 juta ton siap eskpor, tapi faktanya baru sekitar 400 ribu ton yang terekspor," katanya.

Kendati pemerintah sudah membuka larangan ekspor pada 23 Mei lalu setelah hampir sebulan ekspor berhenti, rantai pasok perdagangan sawit di Indonesia mengalami gangguan dan butuh waktu untuk pulih.

Ia menyebut, kapal-kapal tanker yang menganggu alhasil membuat kontrak baru dengan negara lain. Belum lagi, negara yang sudah biasa mengimpor CPO dari Indonesia berpindah negara produsen lain.

"Ini kekeliruan yang luar biasa dan kondisinya justru tidak jauh berbeda saat larangan ekspor masih berlaku," ujar dia

Apkasindo pun meminta ada upaya pemerintah untuk mengembalikan harga TBS seperti semula dengan membuat perdagangan CPO menjadi normal. Ia mengusulkan agar beban biaya FO, sekaligus DMO dan DPO dicabut.

Menurut Gulat, beban yang diberikan cukup pungutan ekspor dan bea keluar seperti dahulu. "Kami sepakat itu diberlakukan dan kalau hanya ada dua beban ini, kami menghitung harga CPO Indonesia bisa berada di kisaran Rp 15 ribu - Rp 16 ribu per kg dan TBS bisa jatuh di angka Rp 3.000 per kg," katanya.

Soal ketersediaan minyak goreng, menurut Gulat saat ini pasokan sudah terdistribusi dengan baik dan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu sudah mulai tercapai meski belum 100 persen.

"Tapi itu sudah jauh lebih baik, jangan biarkan petani sawit bangkrut sebangkrut-bangkrutnya karena industri sawit berbeda dengan yang lain," kata dia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut, kemungkinan kegiatan ekspor minyak sawit baru akan berangsur normal pada bulan Juli mendatang setelah adanya larangan ekspor pada Mei lalu.

"Karena ekspor mau mulai jalan bulan ini (Juni) praktis belum normal, diperkirakan baru (normal) bulan Juli," kata  Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono.

Eddy mengatakan, saat ini beberapa tangki penampungan minyak sawit dari pabrik-pabrik masih dalam kondisi penuh. Itu merupakan imbas dari adanya larangan ekspor CPO sejak 28 April hingga 22 Mei 2022 lalu.

Diharapkan, kata Eddy, seiring telah dibukanya kembali keran ekspor, rantai industri sawit nasional akan kembali normal dan berdampak pada kembalinya kinerja ekspor seperti semula.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement