EKBIS.CO, JAKARTA -- Lembaga pemeringkat Fitch kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB (investment grade) dengan outlook stabil pada Selasa (28/6/2022). Keputusan ini mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah yang baik serta rasio utang Pemerintah terhadap PDB yang rendah.
Pada sisi lain, Fitch melihat masih ada beberapa tantangan yang perlu direspons. Diantaranya rasio pembiayaan eksternal yang meningkat, penerimaan Pemerintah yang masih rendah, serta beberapa indikator struktural seperti PDB-per-kapita dan tata kelola, yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama.
Menanggapi keputusan Fitch tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia. Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah.
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik," katanya dalam keterangan pers.
Selain itu, BI juga akan merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan. Termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional.
Pada laporan yang dirilis Selasa (28/6/2022), Fitch menilai pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut didukung kinerja sektor jasa yang membaik dan ekspor yang kuat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 diperkirakan tumbuh 5,6 persen dan meningkat menjadi 5,8 persen pada 2023.
Pada sisi eksternal, Fitch memperkirakan transaksi berjalan akan mencatat defisit yang rendah yaitu sebesar 0,4 persen dari PDB pada 2022 dan meningkat menjadi 1,0 persen dari PDB pada 2023. Terkait perkembangan harga, Fitch melihat adanya risiko kenaikan tekanan, meski meyakini bahwa inflasi masih akan tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2-4 persen.
Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,8 persen pada 2024. Ini idukung oleh dampak positif dari implementasi UU Cipta Kerja terhadap kenaikan investasi, serta komitmen pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut.
Pada sisi fiskal, Fitch melihat komitmen dari Pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal menjadi di bawah tiga persen pada 2023, akan tercapai. Proyeksi defisit fiskal tahun 2022 diperkirakan turun menjadi 4,3 persen dari PDB, dibandingkan defisit fiskal pada 2021 sebesar 4,6 persen dari PDB.
Di tengah harga komoditas global yang meningkat, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi yang lebih tinggi untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun demikian, kenaikan subsidi tersebut disertai oleh peningkatan penerimaan yang ditopang oleh harga komoditas yang tinggi. Dengan perkembangan tersebut, Fitch memperkirakan utang Pemerintah akan menurun secara bertahap dari level 44,2 persen dari PDB pada 2022. Level utang ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama atau 55,9 persen dari PDB.
Selain itu, ketergantungan Indonesia atas pembiayaan eksternal juga lebih rendah yang diindikasikan oleh kepemilikan investor asing atas surat berharga Pemerintah dalam rupiah yang menurun. Dukungan Bank Indonesia dalam pembiayaan defisit fiskal melalui pembelian surat berharga Pemerintah dipandang dapat membantu mengelola beban bunga.
BI menekankan bahwa dukungan tersebut akan berakhir pada 2022. Sehingga tidak menimbulkan risiko bagi kredibilitas kebijakan moneter yang selanjutnya akan mempengaruhi persepsi positif investor.
Fitch sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan outlook Stabil pada 22 November 2021. Sejumlah ancaman yang terjadi diantaranya peningkatan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih, serta makin meluasnya kebijakan proteksionisme yang ditempuh oleh berbagai negara.