EKBIS.CO, JAKARTA -- Permintaan terhadap pelayanan kesehatan atau rumah sakit (RS) dengan standar dan prinsip syariah semakin meningkat. Assistant Professor School of Business and Management Institut Teknologi Bandung, Nila Armelia Windasari melakukan penelitian terhadap potensi rumah sakit syariah di Indonesia dan menemukan fakta menarik.
"Kita memang harus mengakui di Indonesia, branding syariah ini belum otomatis membangun citra yang positif," katanya dalam International Webinar Halal Pharmaceutical and Healthcare Ecosystem Industry Forum, Rabu (6/7/2022).
Ia mengatakan ada 300 ribu RS di Indonesia tapi hanya kurang dari 100 fasilitas kesehatan yang memiliki sertifikasi kompetensi syariah. Padahal ekosistem layanan kesehatan syariah punya banyak stakeholder pendukung yang dapat berkembang bersama seiring dengan sektor ini.
Ekosistem layanan kesehatan syariah meliputi juga farmasi halal, sumber daya manusia dengan kompetensi syariah, makanan halal, pembiayaan keuangan syariah, hingga medical halal tourism. Bahkan di beberapa negara sudah ada dan banyak juga yang mulai mengembangkan pariwisata medis yang sesuai dengan prinsip syariah.
Nila meyakini Indonesia bisa jadi pionir integrasi sistem kesehatan syariah hingga tingkat global. Menurutnya, saat ini literasi para pelaku industri dan pasar terkait standarisasi layanan kesehatan syariah masih sangat kurang.
Setidaknya, ada sekitar 28,2 persen responden yang menyatakan belum pernah menggunakan layanan syariah apa pun, termasuk RS syariah hingga keuangan syariah. Sementara 32,3 persen menjawab pernah menggunakan layanan RS syariah dan 39,5 persen responden menyatakan pernah menggunakan layanan syariah lain.
"Berita baiknya, banyak pengalaman dan respons positif setelah menggunakan layanan kesehatan syariah, tidak cuma Muslim tapi non-Muslim juga mengaku lebih bahagia, tenang, puas, dan lebih merasa dilindungi," katanya.
Layahan RS syariah melingkupi panduan spiritualitas selama menjalani pengobatan, jaminan makanan dan farmasi halal, hingga proteksi terhadap privasi dan aurat. Menurutnya, banyak yang masih belum familiar dengan sertifikasi dan standar RS halal.
"Sertifikasi itu tentang membangun kepercayaan, jaminan layanan baik terhadap service maupun pekerjanya," kata dia.
Penelitiannya juga menyebutkan, sejumlah responden akan lebih memilih layanan berbasis syariah daripada infrastrukturnya. Responden menilai layanan kesehatan dipilih utamanya karena branding dan pelayanan kesehatannya.
Penelitiannya tersebut menyebutkan para pelaku industri yang telah menerapkan standarisasi membutuhkan dukungan dari sisi regulasi, misalnya dari sisi perpajakan. Selain itu, mereka juga butuh peningkatan kompetensi SDM, terintegrasi dengan industri syariah lain, dan mempromosikan inklusivitas dalam nilai universal.