EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit yang berakhir pada Maret 2023 mendatang. Nantinya regulator akan menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni dengan mengincar sektor tertentu.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan masih ada sektor dengan restrukturisasi kredit masih tinggi seperti sektor akomodasi dan makanan-minuman. Dia menyebut, sektor ini masih memerlukan perpanjangan restrukturisasi di tengah ancaman dampak risiko stagflasi global.
“Restrukturisasi kredit yang merupakan bagian dari respons terhadap kondisi pandemi Covid akan terus kami kaji ujarnya. Jadi beda dengan saat awal atau puncak dari krisis pandemi, restrukturisasi kredit yang dilakukan berlaku seluruh sektor tersebut,” Kamis (4/8/2022).
Mahendra menjelaskan proses restrukturisasi yang dilakukan itu merupakan respons terhadap kondisi pandemi yang menghantam berbagai sektor. Namun sisi lain, terdapat beberapa sektor yang sudah mengalami pemulihan dari awal proses restrukturisasi kredit dilakukan.
"Perekonomian nasional juga harus memitigasi risiko dampak stagflasi global. Jadi ini bukan semata hanya terkait dengan krisis pandemi namun juga dalam konteks menjaga risiko dampak stagflasi global sehingga kedua hal ini yang menjadi konteks dari pengkajian restrukturisasi kredit," jelasnya.
Mahendra memaparkan, dari segi nilai dan jumlah debitur yang mengikuti program restrukturisasi kredit terus menurun secara signifikan. Begitu pula dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) dari kredit yang restrukturisasi. Sementara rasio cadangan kerugian pengurangan nilai (CKPN) yang diperuntukkan restrukturisasi terus meningkat.
"Ini yang masih terus kami dalami kajiannya dan risikonya, sehingga betul-betul yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah fokus pada targeted sector. Jadi beda dengan saat awal atau puncak dari krisis pandemi, restrukturisasi kredit yang dilakukan berlaku seluruh sektor tersebut," pungkas dia.
Pada April 2022, dana restrukturisasi kredit perbankan sebesar Rp 630 triliun. Pencapaian dari program restrukturisasi kredit Covid-19 yang masih berlangsung ini sudah turun dari angka tertinggi sebesar Rp 1.000 triliun.
Sementara itu, restrukturisasi pembiayaan akibat Covid-19 di perusahaan pembiayaan juga menunjukkan tren penurunan signifikan, yakni dari posisi tertinggi Rp 78,82 triliun pada Oktober 2020, saat ini tinggal Rp 28,72 triliun.
Menurutnya dari waktu ke waktu otoritas akan memantau perkembangan hal ini. Hanya saja menurutnya diperlukan pendekatannya restrukturisasi lebih masuk ke sektor dan industri yang masih memerlukan hal-hal tadi itu.
“Sudah banyak sektor yang mengalami penurunan restrukturisasi kredit secara tajam. Mulai dari sektor perdagangan, manufaktur, konstruksi bahkan transportasi dan komunikasi, maupun pertanian,” ucapnya.
Data OJK mencatatkan kredit restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp 576,17 triliun pada Juni 2022 turun dari posisi Mei 2022 sebesar Rp 596,25 triliun. Adapun jumlah debitur restrukturisasi Covid juga menurun dari 3,13 juta debitur pada Mei 2022 menjadi 2,99 juta debitur pada Juni 2022.