EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, ada peluang yang bisa diambil Indonesia dari konflik yang terjadi antara China dan Taiwan. Pemerintah pun terus mendalami potensi dampak kondisi tersebut.
"Harus kita waspadai konflik China dan Taiwan. Kenapa harus diwaspadai, karena satu negara yang investasinya besar di Indonesia itu China, dan Taiwan juga ikut," kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/8).
Bahlil melanjutkan, kini masih mempelajari potensi dampak konflik China dan Taiwan terhadap aliran investasi ke Indonesia. Hanya saja, dampak konflik tersebut tidak terlalu besar ke dalam negeri.
"Seberapa besar (dampaknya) kita lagi pelajari. Mudah-mudahan tidak terlalu dampak politik dalam negeri mereka kepada investasi," katanya.
Meski begitu, Bahlil mengungkapkan, bahkan di kondisi perang sekalipun, bukan berarti kepentingan ekonomi tidak berjalan. Menurut dia, bahkan sejumlah pihak mengambil manfaat ekonomi dari konflik atau perang antarnegara.
Maka dia menilai Indonesia pun bisa mengambil manfaat yang sama demi kepentingan dalam negeri. Terlebih, komunikasi antara Indonesia dengan China, juga dengan Taiwan cukup baik dari sisi ekonomi.
"(Perang) Ukraina sama Rusia itu, ada beberapa negara yang memanfaatkan ekonomi dari kondisi ini. Mungkin kalau ini terjadi antara China dan Taiwan, kita bisa masuk pada ruang-ruang itu. Kan komunikasi kita juga baik," tuturnya.
Bahlil pun mengajak semua pihak agar tidak takut. Menurut dia, sikap waspada perlu tapi juga dengan upaya antisipasi. "Boleh kita khawatir, boleh kita antisipasi tapi jangan kita takut dengan bayang-bayang di luar," tegas dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohammad Faisal menambahkan, ancaman masalah geopolitik baru yaitu konflik antara China dan Taiwan harus pula diperhatikan. "Kalau memanas terus dan berlarut-larut akan semakin menekan perekonomian global," jelasnya.
Bagi dia, dampak konflik itu terhadap pertumbuhan ekonomi domestik berpotensi lebih besar. Alasannya, sumber konflik lebih dekat secara geografis, sehingga lebih berpengaruh dibandingkan konflik Rusia dengan Ukraina.
Walau demikian, CORE memprediksi perekonomian akan tumbuh sekitar 4,5 persen sampai 5 persen sepanjang 2022. Prediksi tersebut lebih rendah dari target pemerintah yang sebesar 5,2 persen.