EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memiliki sejumlah alasan sampai menaikkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak Februari 2021. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan kenaikan ini sudah berdasarkan perhitungan yang terukur dan cermat.
"Kebijakan moneter BI selalu didasarkan pada pertimbangan yang berdasarkan data, kami lakukan kalibrasi, terukur, dan cermat," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (23/8/2022).
Perry mengatakan, penyebab utama kenaikan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate menjadi 3,75 persen adalah potensi kenaikan inflasi inti. Menurutnya, perhitungan terbaru BI memproyeksikan inflasi inti akan berada di atas empat persen, tepatnya 4,15 persen di akhir 2022.
Sementara proyeksi inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2022 akan berada di atas lima persen, tepatnya 5,24 persen. Kenaikan inflasi inti tersebut karena dampak rambatan dari inflasi volatile food dan administered price yang masih terus berlanjut.
"Kami tidak merespons first round effect (dari kenaikan inflasi volatile food dan administered price), melainkan dampak rambatannya atau second round effect pada inflasi inti yang mencerminkan fundamental permintaan," kata Perry.
Ia menekankan kenaikan suku bunga sebagai langkah mitigasi demi mengendalikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi. BI meyakini kenaikan inflasi ini bersifat sementara atau dalam jangka pendek, dan akan kembali lagi ke sasaran 2-4 persen untuk jangka menengah panjang.
Perry menjelaskan, dalam kondisi normal, inflasi inti dan inflasi IHK bergerak beriringan. Sehingga strategi pengendaliannya pun setara. Namun saat ini, kondisi ekonomi global yang tidak stabil menyebabkan inflasi IHK tinggi karena komponen inflasi volatile food dan administered price.
Per Juli 2022, inflasi volatile food bertengger di angka 11,47 persen dan administered price sebesar 6,51 persen. Sementara inflasi inti masih rendah sebesar 2,86 persen.
"Mestinya inflasi volatile food itu maksimal enam persen, inflasi administered price juga naik meski pemerintah masih memberikan subsidi BBM pertalite, solar, listrik, dan lainnya," katanya.
Harga BBM non-subsidi juga alami peningkatan sehingga ada dampak rambatan hingga ke tarif transportasi khususnya angkutan udara. Jadi, kata Perry, meski inflasi inti masih rendah, namun BI perkirakan ada dampak rambatan inflasi pangan, kenaikan energi non-subsidi ke inflasi inti.
Perry mengatakan, BI juga terus berkoordinasi erat dengan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, terkait dengan pengendalian fiskal. Terutama terkait subsidi pada sektor energi, bahan bakar minyak, listrik dan lainnya, serta dampak kenaikannya pada inflasi.