EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan tetap akan memberlakukan pembatasan jenis pupuk bersubsidi mulai 1 Oktober 2022. Sejauh ini, Kementan menyatakan belum ada rencana pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan.
Direktur Pupuk, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana, Kementan, Muhammat Hatta mengatakan, pembatasan jenis pupuk subsidi juga sesuai rekomendasi dari Panitia Kerja Komisi IV DPR dan dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022.
"Apabila tidak ada perubahan Permentan 10 Tahun 2022, maka pembatasan dua jenis tersebut jadi diterapkan per 1 Oktober 2022," kata Hatta kepada Republika.co.id, Senin (29/8/2022).
Sebagai informasi, terdapat lima jenis pupuk yang sebelumnya mendapatkan subsidi yakni Zwavelzure Amonium (ZA), Urea, SP-36, NPK, dan pupuk organik Petroganik. Pupuk bersubsidi juga menyasar hingga 70 komoditas pertanian.
Pemerintah pun memangkas menjadi hanya dua jenis yakni Urea dan NKP dan hanya sembilan komoditas yang akan mendapatkannya. Di antaranya padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kopi, dan kakao.
Hatta memastikan kesiapan penerapan kebijakan tersebut bersama PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai penyedia. "Koordinasi dilakukan Kemenko Perekonomia, Kemendagri, dinas pertanian provinsi hingga kota, koordinator penyuluh, dan petani," ujar Hatta.
Sebelumya, terdapat masukan dari sejumlah pihak agar kebijakan tersebut ditinjau ulang. Salah satunya dari Himpunan Mitra Produksi Organik (Himpo).
Ketua Himpo, Parto, menuturkan ratusan pabrik pupuk organik terancam tutup dan menyebabkan ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan pemerintah yang menghentikan alokasi pupuk organik bersubsidi.
Ia menuturkan, terdapat 143 pabrik pupuk organik di Indonesia. Adapun yang menjadi anggota Himpo sebanyak 105 pabrik. Menurutnya, pabrikan pupuk organik telah menyerap sekitar 30 ribu tenaga kerja langsung. Di luar itu, ada tenaga kerja tidak langsung yang menjadi penyuplai hingga pengepul bahan baku untuk pabrik.
"Kita hitung total ada 60 ribu tenaga kerja yang bekerja bersama kami. Jika tidak ada lagi subsidi organik, otomatis pabrik kami tutup, haruskan kita biarkan mereka terlantar?" kata Parto.
Parto menambahkan, selain berdampak pada ekonomi, kebijakan tersebut juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Ia menuturkan, ribuan ton limbah yang menjadi bahan baku utama bisa terbengkalai jika pabrik tutup.
Sejauh ini pembuatan pupuk organik menggunakan limbah kotoran ayam dan sapi, limbah pabrik gula hingga limbah pabrik gula yang difermentasi. Keberadaan pabrik pupuk organik, dinilainya telah membantu para peternak dalam mengelola limbah yang dihasilkan.
"Kalau kita tidak bisa melakukan ini, akan dibuang kemana limbahnya? Mesti salah satunya dibuang ke sungai atau tempat yang bisa menganggu masyarakat," katanya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Supplier Pupuk Organik Blitar, Yudi Prayitno, mengatakan, setidaknya tercatat 15 juta ekor populasi ayam di Blitar dan menghasilkan banyak limbah. "Dari situ, per 2.000 ekor menghasilkan 15 ton limbah, dari total siklus hidup itu makan waktu 1,5-2 tahun dan terkumpul 112 juta kilogram (112 ribu ton) limbah kotoran ayam," kata Yudi.
Ia menuturkan, dengan keberadaan industri pupuk organik, limbah ternak yang dihasilkan dapat dikelola dengan baik karena digunakan untuk bahan baku. "Simbiosis peternak ayam dengan kami sudah berjalan dengan baik karena limbah teratasi, kami dapat pekerjaan, pupuk pertanian tersedia," katanya.
Yudi menambahkan, akibat kebijakan pemerintah yang tak lagi memberikan pupuk organik bersubsidi kepada petani, pengelolaan limbah ternak terganggu. Pasalnya, peternak yang ingin memulai siklus produksi ayam harus membersihkan seluruh limbahnya terlebih dahulu.
"Akibat ini mereka terganggu, kami tidak bisa menjalankan (menyerap limbah) dengan berhentinya produksi pupuk organik," katanya.
Sementara itu, Wawan Ginanjar, salah satu Ketua Kelompok Tani di Jawa Barat yang mengolah limbah ternak mengaku, kehilangan pekerjaan akibat kebijakan pencabutan subsidi itu. Ia mengolah limbah peternakan di Garut, Bandung, Subang, dan Cianju dengan melibatkan ratusan pekerja.
"Sekarang tidak ada order dari pabrik jadi mata pencaharian kami mandek saat ini," ujarnya.