EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mencatat aliran modal asing sebesar Rp 120,79 triliun telah keluar dari Indonesia per 25 Agustus 2022. Hal ini dipicu sejak The Fed mengindikasikan akan melaksanakan kebijakan agresif pada Mei 2022 lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan indikasi itu membuat pasar keuangan berada dalam ketidakpastian, sehingga para investor asing menarik modalnya dari Indonesia.
"Ini akan berlangsung terus sampai 2023, makanya kita di dalam mengelola dan desain APBN 2023 harus pahami esensi dari tantangan dan ketidakpastian ini," ujarnya saat Rapat Kerja Badan Anggaran DPR, Selasa (30/8/2022).
Menurutnya di negara berkembang bahkan, modal asing yang hengkang sudah mencapai 50 miliar dolar AS pada enam bulan pertama 2022. Adapun aliran tersebut sebenarnya lebih baik dibandingkan awal terjadinya Covid-19 pada 2020 lalu.
Baca juga : Menkeu: Alokasi Tunjangan Guru Honorer Mencapai Rp 233,9 Triliun
“Saat itu jumlahnya dana keluar dari emerging market lebih dari 100 miliar dolar AS. Likuiditas mengetat dan suku bunga naik berdampak pada capital outflow. Semuanya mengalami, emerging market situasinya dua tahun sebelumnya memuncak di atas 120 miliar dolar AS, sekarang 50 miliar dolar AS,” ucapnya.
Meski aliran keluar modal asing cukup besar, dia menilai tak perlu khawatir. Sebab, portofolio investor global di pasar obligasi tanah air masih mendominasi obligasi tanah air.
“Fundamental perekonomian Indonesia juga cukup kuat pada tahun ini,” ucapnya.
Di samping itu, Sri Mulyani mewaspadai risiko berupa awan gelap dan tebal yang akan menyelimuti perekonomian global termasuk ekonomi Indonesia. Kata dia, tantangan itu telah bergeser dari pandemi Covid-19.
"Kita tetap menjaga kewaspadaan tinggi karena awan tebal dan gelap dalam bentuk inflasi, kenaikan suku bunga, pengetatan likuiditas, dan pelemahan ekonomi serta ketegangan geopolitik bahkan mulai melanda perekonomian Eropa, Amerika Serikat, dan RRT," ucapnya.
Baca juga :Kemenkeu: Investor Minati Seri Tenor Panjang pada Lelang SUN
Sri Mulyani menjelaskan, kondisi ini menimbulkan rambatan negatif ke seluruh dunia, dalam bentuk krisis pangan dan energi sebagai akibat disrupsi rantai pasok dan kenaikan sangat tajam harga-harga pangan dan energi dunia.
“Kenaikan suku bunga juga menyebabkan gejolak di pasar uang dan arus modal ke luar dari negara-negara berkembang. Hal ini berpotensi melemahkan nilai tukar dan memaksa suku bunga disesuaikan ke atas,” jelasnya.
“Dampak rambatan global ini dapat mengancam ekonomi Indonesia dalam bentuk tekanan harga (inflasi), pelemahan permintaan dan pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Menurutnya ancaman lainnya terkait rasio utang yang melonjak, sebagai akibat pengetatan kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan oleh berbagai negara maju dunia.
Baca juga : P2G: RUU Sisdiknas tidak Atur Lengkap Hak-Hak Guru
“Menyebabkan rasio utang melonjak rata-rata di atas 60 bahkan di beberapa belahan sudah mendekati 100 persen. Rasio utang pemerintah dan korporasi tinggi, ditambah pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga menimbulkan krisis utang global," ucapnya.
Berdasarkan proyeksi IMF, krisis ini akan menyebabkan 60 negara default atau gagal bayar, sehingga lonjakan inflasi, pengetatan moneter, dan risiko default merupakan kombinasi yang rumit untuk dihadapi Indonesia pada tahun depan
"Kombinasi pelemahan ekonomi dan laju inflasi tinggi atau stagflasi jadi tantangan tidak mudah, salah satu isu yang muncul karena harga komoditas alami perubahan dramatis pada pertengahan tahun lalu dan kontinu berlangsung terus pada 2022," ucapnya.