EKBIS.CO, JAKARTA -- Sejak era pemerintahan Soekarno, bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi isu sentral yang memunculkan reaksi pro dan kontra di masyarakat. Penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan di sektor energi ini kerap menjadi kebijakan yang tidak populer.
Tetapi Pemerintah harus mengambil kebijakan tersebut yang tentunya mendapat dukungan dari masyarakat. Hal itu diungkapkan Sundawan Salya dari Lembaga Pengkajian Intelijen Strategis, Sabtu (3/9/2022).
Sundawan mengatakan sumber daya energi bukan merupakan dominasi isu domestik, tetapi sesungguhnya adalah isu global. Hal ini dikarenakan posisi penting sektor sumber daya energi, khususnya BBM dan gas yang memainkan peran sangat penting (play important role) sebagai energi utama yang dibutuhkan dunia.
”Munculnya konflik kepentingan antara negara di tingkat global, dan memanfaatkan isu BBM dan gas sebagai bagian dari Konflik tersebut, dapat memunculkan dan membawa dampak sangat besar terhadap keseimbangan kebutuhan suplai BBM dan gas pada tataran global, regional, terutama domestik,” katanya.
Sundawan yang juga dosen di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini melihat persoalan kenaikan harga BBM ini dari perspektif kajian intelijen strategis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari gambaran besar yang terjadi sekarang. Khususnya, ini salah satu dampak dari konflik Rusia dan Ukraina. "Bahkan juga bersinggungan dengan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina,” ujarnya.
Pernyataan Kepala BIN, Budi Gunawan, yang menyebutkan dari analisa intelijen ekonomi perkembangan global tersebut menjadi beban ekonomi bagi negara-negara lain termasuk Indonesia, dinilai Sundawan, merupakan analisa yang tepat. ”Perlu penatakelolaan yang tepat. Apabila tidak ditata dalam kebijakan yang tepat dapat dipastikan bisa memunculkan efek berantai terhadap sektor lainnya sosial, ekonomi, bahkan sektor politik dan keamanan,” ujarnya.
Tak hanya itu, akan terjadi potensi keterbatasan pasokan BBM, potensi naiknya biaya trasnportasi, naiknya harga-harga kebutuhan hidup dan tentunya munculnya pemanfaatan soal BBM menjadi isu politik. ”Ini dapat memunculkan kerawanan keamanan nasional,” katanya.
Politik subsidi BBM dengan mengalihkan anggaran subsidi BBM menjadi bantalan sosial sebesar Rp 24,1 triliun dinilainya sebagai opsi taktis jangka menengah. Kebijakan ini dapat menjadi legal standing pemerintah dalam mengurangi subsidi bagi masyarakat mampu, lalu mengalihkannya bagi masyarakat tak mampu.
"Pemerintah perlu bersikap konsisten melindungi kelompok masyarakat yang rentan, agar tujuan dari pengalihan subsidi tersebut bisa tepat sasaran,” ujarnya.
Di dalam merespons penolakan opsi pengalihan anggaran subsisi BBM oleh sebagian masyarakat, pemerintah tidak perlu reaktif karena ini merupakan bagian dari dinamika sosial politik. Menurutnya reaksi itu sebagai bagian dari koreksi yang bisa menambal bolong-bolong di dalam pelaksanaan bantalan sosial.
Sundawan mengatakan opsi taktis harus diikuti oleh opsi strategis. Termasuk kebutuhan nyata mengamankan suplai energi dengan memilih sumber-sumber energi alternatif selain BBM. ”Dengan menyusun dan menetapkan strategi untuk memenuhi kebutuhan nyata sumber daya energi yang berbasis sustainable energy,” ujarnya.