EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen, merupakan langkah kebijakan moneter yang diambil oleh pemerintah guna menjaga laju inflasi yang terus merangkak naik. Upaya itu pun demi mengimbangi langkah Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin.
Pada kuartal kedua 2022, inflasi pada Juli menunjukkan angka 4,94 persen year to year (yoy). Angka tersebut jauh dari asumsi makro awal penyusunan APBN 2022 yang ditarget hanya kisaran 3 persen secara agregat pada 2022.
Ketua Komite Analis Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, secara prinsip inflasi disebabkan karena dua faktor utama. Pertama, karena faktor permintaan demand pull inflation. Hal ini timbul karena pertambahan jumlah uang beredar dan meningkatnya konsumsi secara keseluruhan, sehingga membuat sisi demand naik.
"Faktor kedua adalah penawaran cost push inflation. Inflasi yang disebabkan karena kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) atas barang dan jasa," ujar dia kepada Republika, Jumat (23/9).
Kalau kita melihat lebih detail, kata dia, fenomena kenaikan yang sedang terjadi di Indonesia cenderung karena faktor cost push inflation. Paling tidak ada tiga hal signifikan yang membuat kenaikan harga penawaran.
"Pertama kebijakan fiskal pemerintah menaikkan tarif PPN pada tanggal 1 April 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen. Kedua, karena kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022, dan ketiga karena kondisi geopolitik yang mengganggu global supply chain," jelasnya.
Dirinya menilai, kebijakan BI menaikkan suku bunga ini akan memberikan konsekwensi ekonomi dengan berkurangnya likuiditas dan cenderung menurunkan kemampuan daya beli serta konsumsi masyarakat. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara signifikan ditopang oleh konsumsi.
Data Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2021 sebesar Rp 16.970,8 triliun, lebih dari 54 persennya adalah kontribusi dari konsumsi. Untuk jangka pendek, pemerintah sudah cukup tepat dengan mendorong program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diambilkan dari alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Hal yang perlu dikritisi dalam kebijakan moneter ini adalah dengan efek disinsentif dalam ekonomi. Ketika pemerintah secara agresif melakukan penyelamatan fiskal dengan banyak disinsentif ke dunia usaha, selanjutnya pemerintah kembali membuat kebijakan dari sisi moneter yang membuat dunia usaha kembali mengalami tekanan, dengan potensi melemahnya konsumsi.
"Seharusnya pemerintah lebih fokus dengan pemberian insentif agar terjadi pengurangan biaya-biaya dan kemudahan produksi sehingga efek inflasinya tetap bisa terjaga. Misalnya kebijakan relaksasi kredit untuk dunia usaha yang kembali diperpanjang karena narasi besar atas potensi inflasi. Dengan pola pembiayaan yang lebih terukur dan managable, dunia usaha akan mempunyai fleksibilitas," tutur dia.
Ketika pemerintah, lanjutnya, sudah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga SBI ini. Lalu ekonomi selanjutnya, ada dua hal yang perlu dimitigasi dengan baik.
"Yaitu potensi pertumbuhan ekonomi yang akan jadi terkoreksi dan inflasi yang tetap merangkak naik. Sampai akhir tahun, pertumbuhan ekonomi cenderung akan bergerak di angka 5 persen, tetapi yang bahaya adalah ketika inflasi yang terjadi diatas pertumbuhan ekonomi, karena ketika kondisi tingkat inflasi di atas pertumbuhan ekonomi terjadi, maka secara substantif kesejahteraan masyarakat akan turun dan terkorbankan," ujar Ajib.