EKBIS.CO, LONDON -- Lonjakan biaya pinjaman dan kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi mengancam terjadinya aksi jual di pasar perumahan Inggris. Kondisi itu memberikan konsekuensi bagi ekonomi secara luas dan dapat menjadi persoalan Inggris selama beberapa dekade.
Pembukaan strategi ekonomi baru negara yang penuh gejolak telah membuat pemberi pinjaman berebut untuk mengikuti ayunan liar di pasar pendanaan sterling yang menentukan tingkat kredit yang mereka tawarkan kepada pemilik rumah.
Seperti dilansir dari Reuters, Kamis (29/9/2022), data pemerintah terbaru menunjukkan hanya di bawah dua pertiga dari 24,7 juta tempat tinggal di seluruh Inggris ditempati oleh pemilik. Sebanyak 8,8 juta rumah dimiliki langsung dan 6,8 juta dimiliki dengan kredit atau pinjaman.
Beberapa lembaga keuangan untuk sementara berhenti menyediakan kredit kepada pelanggan baru, sementara banyak lembaga lainnya menaikkan tingkat pembayaran untuk pinjaman baru ke tingkat yan lebih tinggi. Itu membuat nilai kredit yang baru tidak terjangkau bagi banyak orang lainnya.
Penawaran kredit perumahan di Inggris untuk pelanggan baru sekarang memiliki tarif sekitar 5 persen hingga 6 persen. Sebuah peningkatan tajam dari awalnya sekitar 2 persen selama lima tahun terakhir. Hal ini mendorong kekhawatiran akan runtuhnya pasar properti di masa mendatang.
"Krisis kredit akan menjadi lebih besar daripada yang sekarang. Ini akan berakhir dengan air mata," kata Richard Murphy, profesor praktik akuntansi di Universitas Sheffield, kepada Reuters.
Suku bunga rendah secara historis terjadi sejak krisis keuangan global 2007-2008 dan rendahnya pasokan perumahan telah memicu dua kali lipat dari harga rata-rata rumah Inggris menjadi 292.000 pound (316 ribu dolar AS) dari hanya 154.000 pound pada tahun 2009.
Itu memberi rasa kemakmuran yang akhirnya mendukung belanja konsumen dan menopang pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.