EKBIS.CO, JAKARTA— Di tengah situasi dunia yang penuh gejolak dan terancam resesi global, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan agar Menteri Keuangan Sri Mulyani berhati-hati dalam mengelola anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Presiden meminta agar setiap uang di APBN kita ‘dieman-eman’ alias dihemat. Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) menilai bahwa pernyataan Presiden tersebut merupakan 'peringatan tanda bahaya' terkait beratnya beban ekonomi yang harus dipikul negara saat ini.
Bagi kelompok masyarakat pendukung Anies Baswedan itu, arahan Presiden agar Menkeu melakukan penghematan untuk menjaga agar APBN ’tidak oleng’ harus disertai dengan upaya yang lebih serius untuk menunjukkan sense of crisis.
”Presiden harus berani mengumumkan penundaan berbagai megaproyek infrastruktur dan mempersiapkan jaring pengaman sosial yang lebih baik bagi warga sebagai antisipasi resesi,” ujar Sekjen SKI Raharja Waluya Jati, Jumat (30/9/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Jati, pemerintah perlu mengurangi glorifikasi atas proyek-proyek strategis nasional karena yang ditunggu-tunggu rakyat saat ini adalah inovasi kebijakan untuk menjamin agar akses rakyat terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang murah selalu terjaga.
”Dalam kegiatan Musyawarah Komunitas Desa (MKD) yang difasilitasi SKI di beberapa provinsi, rakyat mengeluhkan kenaikan harga-harga di saat pendapatan mereka belum membaik. Pemerintah seyogianya menjelaskan secara transparan mengenai situasi keuangan kita disertai tawaran solusi inovatif untuk mengatasinya,” lanjutnya.
Jati menambahkan, sense of crisis yang ditunjukkan pemerintah juga akan berperan positif dalam membentuk kesiapan warga menghadapi kondisi ekonomi yang diperkirakan bakal makin sulit.
”Dalam menghadapi resesi yang diprediksi terjadi tahun depan, warga perlu memperkuat modal sosial, menjaga keguyuban, saling bergotong-royong untuk meringankan beban hidup di antara mereka,” kata Jati.
Di samping menekankan perlunya sense of crisis, SKI juga menyerukan kepada elit politik agar menjadikan resesi global sebagai momentum untuk meminimalisasi perbedaan politik dan menjaga persatuan.
Salah satunya, melalui konsensus untuk melaksanakan proses Pemilu dan Pilpres 2024 secara jujur dan adil.
”Keberhasilan bangsa-bangsa dalam mengatasi krisis ditentukan oleh kemampuan mereka bersatu. Pemilu 2024 yang diselenggarakan secara jujur dan adil akan memudahkan penyembuhan luka politik sehingga sesudahnya kita bisa bersatu lebih kuat,” kata Jati.
Karena itu, kata Jati, para pemangku kepentingan politik harus bisa bekerjasama untuk menghentikan kegiatan penyebaran narasi dan opini yang membelah masyarakat, yang dilakukan kelompok-kelompok pendengung (buzzer) di media massa maupun media sosial.
”Solidaritas tanpa batas dalam menghadapi resesi hanya akan muncul jika semua pihak berkolaborasi membangun narasi-narasi sejuk yang mendorong persatuan seluruh warga tanpa memandang spektrum politiknya,” tutur dia.