EKBIS.CO, JAKARTA -- Istilah September Ceria yang biasa digunakan masyarakat untuk menyambut bulan kesembilan setiap tahun, nampaknya tak begitu diraskaan oleh para petani. Badan Pusat Statistik mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) September 2022 mencapai 106,82 atau naik 0,49 persen dari bulan sebelumnya.
Kendati demikian, Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, kenaikan NTP pada bulan lalu tak sepenuhnya ceria bagi petani. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI, Mujahid Widian, menyebutkan tren positif NTP nasional pada September 2022 merupakan dampak membaiknya subsektor tanaman pangan.
Peningkatan NTP tanaman pangan sendiri sudah berlangsung sejak bulan Agustus lalu, ditandai dengan meningkatnya harga gabah di tingkat petani. Kenaikan harga gabah tentunya akan menaikkan daya beli keluarga petani.
Namun, di saat bersamaan laju inflasi melonjak hingga tembus 1,17 persen. "Karena inflasi tersebut, peningkatan daya beli menjadi tidak optimal, sehingga NTP tanaman pangan tetap saja di bawah standar, yakni 99,35 poin (di bawah titik impas 100)," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (6/10/2022).
Ia menuturkan, laporan anggota SPI dari berbagai wilayah menyebutkan harga gabah di tingkat petani mengalami kenaikan, demikian juga dengan harga beras. Hal ini disebabkan sejumlah faktor, mulai dari terbatasnya stok gabah karena produksi padi yang minim; hingga musim tanam antar wilayah yang berbeda, juga turut mempengaruhi” ujarnya.
“Dari data BPS tersebut juga kita lihat bahwa indeks biaya yang dikeluarkan petani mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya, seperti konsumsi rumah tangga (0,95 persen) dan biaya produksi dan modal (0,96 persen). Hal ini dilihat sebagai dampak dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan September lalu," ujarnya.
Sementara itu, NTP subsektor Hortikultura kembali menunjukkan tren penurunan seperti bulan Agustus 2022 lalu. Adapun penurunan pada Bulan September 2022 ini dipengaruhi oleh kelompok penyusun, yakni sayur-sayuran, khususnya tomat dan bawang merah.
Kondisi tersebut dirasakan oleh anggota SPI di wilayah Bengkulu, yang mengeluhkan harga tomat anjlok drastis. Petani hortikultura lebih merasakan beban ekonomi dari kenaikan harga BBM dibandingkan petani tanaman pangan. Kenaikan indeks pengeluaran kebutuhan sebesar 1,12 persen dan kenaikan biaya produksi dan biaya modal sebesar 0,96 persen.
“Laporan yang kami terima, di Kepahiang, Bengkulu, harga tomat di tingkat petani berkisar Rp 3.500 bahkan ada yang Rp 1.000/kg. Tomat sampai tidak ditampung karena harganya yang murah," ujarnya.
Sementara itu, NTP subsektor perkebunan rakyat juga mencatatkan kenaikan meski dinilai belum signifikan. Laporan dari anggota SPI menyebut pada pertengahan September lalu terdapat kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS).
Namun, menjelang akhir September kembali turun kendati tidak terlalu drastis. Kenaikan konsumsi dan produksi mereka bahkan lebih dari kenaikan yang dialami oleh keluarga petani tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Kenaikan kebutuhan konsumsi sebesar 1,17 persen dan biaya produksi dan penambahan modal sebesar 2,17 persen. Angka-angja tersebut setara dan lebih tinggi dari angka inflasi sebesar 1.17 persen.
“Untuk komoditas perkebunan khususnya sawit yang orientasinya ekspor, Harga TBS dan CPO tentunya akan akan dipengaruhi oleh harga di tingkat internasional," ujarnya.
Mujahid menyebutkan dampak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, sudah mulai dirasakan di sektor pertanian. Terkait hal tersebut, ia menilai sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah khusus untuk para petani, mengingat dampak akibat kenaikan harga BBM yang cukup signifikan.
Ia mengusulkan, sudah selayaknya pemerintah untuk memberikan subsidi input produksi, maupun mekanisme agar harga di tingkat petani terjamin dan layak. Terkhusus pada tanaman Hortikultura, melimpahnya hasil panen tomat dan bawang merah secara normal akan menurunkan harga jualnya pada bulan September.
"Kebijakan ini tentunya menyasar seluruh petani, tidak hanya terbatas pada Poktan dan Gapoktan saja, melainkan seluruh kelembagaan petani yang ada di Indonesia. Namun sejauh ini kami belum melihat upaya ke arah sana," ujar dia.