Rabu 19 Oct 2022 14:59 WIB

Sri Mulyani: Pemerintah Waspadai Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2022

Menkeu Sri Mulyani yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen di 2023

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana gedung bertingkat di Jakarta. Pemerintah mewaspadai pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022. Hal ini mengingat situasi pertumbuhan ekonomi global yang direvisi seluruh negara.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Suasana gedung bertingkat di Jakarta. Pemerintah mewaspadai pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022. Hal ini mengingat situasi pertumbuhan ekonomi global yang direvisi seluruh negara.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Pemerintah mewaspadai pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022. Hal ini mengingat situasi pertumbuhan ekonomi global yang direvisi seluruh negara.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Outlook Ekonomi Global merevisi pertumbuhan ekonomi semakin ke bawah seluruh negara, salah satunya Amerika Serikat yang dikoreksi sangat tajam pada 2022 dan 2023. Sementara Eropa pada 2022 sebesar 3,1 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas lima persen pada 2023.“Kita tahu bahwa external factor menjadi sangat dominan dan ini tentu memengaruhi bagaimana kinerja ekonomi kita,” ujarnya saat webinar, Rabu (19/10/2022).

Menurutnya defisit fiskal menjadi salah satu instrumen yang digunakan banyak negara saat menghadapi wabah pandemi Covid-19. Maka itu, belanja negara ditingkatkan demi menangani pandemi melalui pembelian vaksin dan biaya pengobatan pasien Covid-19.

Sri Mulyani menjelaskan pada 2020, Indonesia mencatatkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 6,14 persen. Lalu, pada 2021 mengalami penurunan ke 4,57 persen. Akumulasi defisit fiskal Indonesia dalam dua tahun tersebut mencapai 10,7 persen.

"Jumlah defisit yang meningkat di Indonesia relatif moderat dibandingkan negara yang harus menggunakan instrumen fiskalnya selama pandemi dengan jauh lebih banyak," ucapnya.

Tak hanya itu, dia juga membandingkan dengan Singapura yang mencatat akumulasi defisit fiskal 2020 hingga 2021 sebanyak enam persen. Lalu, Malaysia sebesar 10,1 persen, Filipina sebesar 12,2 persen, Thailand sebesar 12,6 persen dan Australia sebesar 16,3 persen.

Menurut Sri Mulyani, terdapat juga negara-negara yang akumulasi defisitnya melebihi 20 persen seperti Inggris 20,7 persen dan Amerika Serikat (AS) yang akumulasi defisit 24,7 persen. Kemudian, India yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi di atas enam persen juga ditopang oleh defisit APBN-nya yang melonjak hingga 23 persen hanya dalam dua tahun.

Meski begitu, Indonesia tetap mencatatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto yang moderat. Pada 2021, rasionya sebesar 40,7 persen dan Juli 2022 turun ke 37,9 persen.

"Penurunan proyeksi terjadi semua di semua negara, baik negara maju maupun berkembang. Inggrisnya tadinya 2022 naik dengan terjadinya krisis APBN yang ada di Inggris kemungkinan akan mengalami revisi ke bawah karena guncangan yang terjadi karena APBN mereka yang tidak kredibel yang dipaksa kemudian harus berubah ini sangat-sangat besar," ucapnya. 

Adanya proyeksi ekonomi global, lanjut Sri Mulyani, negara-negara emerging juga mengalami kondisi yang relatif tertekan meskipun di dalam situasi ini seperti India, Indonesia Brazil, Meksiko relatif dalam situasi yang cukup baik. Namun tidak berarti mereka tidak terpengaruhi oleh kondisi eksternal yang masih bergejolak.

Bendahara negara ini menyebut salah satu penyebab bergejolaknya yakni harga komoditas yang memang cenderung tinggi tetapi tidak berarti selalu tinggi. 

"Harga natural gas itu semenjak April hingga sekarang itu gejolaknya bisa naik turun yang sangat tajam bisa di atas sebulan kemudian turun level lima kemudian naik lagi level sembilan. Cold selama ini tetap bertahan 400 namun saat ini relatif agak menurun sedikit di bawah 400, ini juga tertinggi dalam sejarah harga cold di dunia, apalagi menjelang winter's," ucapnya.

Sementara brent sempat menurun kemudian mengalami kenaikan, karena opec memutuskan untuk mengurangi produksinya 2 juta perhari. "Ini salah satunya topik yang juga dibahas di dalam G20 kemarin dampak dari keputusan OPEC akan semakin meningkatkan harga minyak dan memperburuk inflasi," ucapnya.

Dia menekankan prediksi krisis pangan tahun depan mungkin akan jauh lebih berat yang dikarenakan oleh akses terhadap pupuk yang terkendala dan akan memengaruhi jumlah dari bahan pangan.

Ke depan Sri Mulyani menyebut proyeksi ekonomi global yang direvisi tersebut tentu besar kemungkinan akan terjadi resesi di negara tersebut.

"Sekarang kata-kata resesi bukannya tidak mungkin di Amerika Serikat dan Eropa. Kenaikan harga yang sangat tinggi dan kemudian memaksa bank sentral ECB menaikkan suku bunga secara agresif juga bahkan diperkirakan 2022 hingga 2023 kemungkinan terjadi resesi," ucapnya.

Negara yang diambang resesi selanjutnya yakni China, kepemimpinan nasionalnya sudah mengalami pelemahan ekonomi baik karena lockdown maupun karena kondisi dunia serta sektor properti yang telah menimbulkan dampak yang luar biasa.

"Angka kuartal ketiga belum keluar, namun diperkirakan cukup tajam melemah," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement