EKBIS.CO, JAKARTA --- Saat ini nikel merupakan salah satu sumber daya mineral yang menjadi komoditas strategis di pasar global. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan, permintaan nikel di pasar global akan terus meningkat seiring dengan penguatan tren energi baru terbarukan (EBT).
Dalam laporannya di Southeast Asia Energy Outlook 2022, IEA memprediksi permintaan nikel untuk keperluan teknologi energi bersih akan berkembang pesat sampai 20 kali lipat selama periode 2020 sampai 2040.
Harga nikel global yang menunjukkan tren kenaikan berdampak positif terhadap harga patokan mineral (HPM) nikel di Indonesia. Tiga bulan terakhir, harga nikel di bursa perdagangan London Metal Exchange (LME) terus memperlihatkan tren kenaikan.
Melihat tren ke depan, Helmut Hermawan, Direktur Utama PT. Citra Lampia Mandiri (CLM)/Lampia Group, perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Luwu, Sulawesi Selatan, menyatakan optimismenya terhadap masa depan nikel Indonesia.
“Kami yakin masa depan nikel akan semakin cerah. Dan kita punya peluang besar untuk merebut pemenuhan kebutuhan dunia karena Indonesia memiliki lebih dari setengah cadangan dunia, sekitar 150 juta ton,” ujar Helmut Hermawan, Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (31/10/2022).
Tak hanya terbesar dari sisi volume, penyebaran cadangan nikel di Indonesia juga paling besar di dunia. Di Indonesia, 90 persen cadangan nikel tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
Menurut Helmut, tiga besar penghasil nikel dunia berada di Sulawesi. Beberapa daerah Sulawesi yang berkembang menjadi lokasi pertambangan nikel antara lain Kolaka (Sulawesi Tenggara), Morowali (Sulawesi Tengah) dan Luwu Timur (Sulawesi Selatan). Daerah yang disebut terakhir, di mana CLM beroperasi, merupakan kabupaten penghasil nikel terbesar di dunia.
Sementara di Maluku daerah tambang nikel antara lain terdapat di Halmahera (Maluku Utara) dan Pulau Ternate. Cadangan nikel juga meluas sampai ke Papua, yang lokasi tambangnya antara lain terdapat di Pulau Gag.
Selain terbesar dari sisi volume, kualitas nikel di Indonesia juga terbaik di dunia. Nikel kelas satu sangat dibutuhkan untuk pengembangan baterai mobil listrik untuk campuran jenis logam cobalt.
Meski permintaan nikel dari segmen baterai ini belum terlalu besar, namun segmen kendaraan listrik yang diperkirakan akan tumbuh cepat, akan memicu naiknya permintaan nikel kelas satu dari Indonesia. Data dari IEA juga mengungkapkan, kendaraan listrik saat ini menyumbang dua persen lebih dari penjualan mobil global dan akan menjadi 58 persen pada 2040.
Biji nikel berkadar tinggi sangat dibutuhkan untuk industri pengolahan atau smelter di Indonesia. Selain itu, nikel merupakan bahan baku penting bagi pembangkit energi geotermal dan salah satu bahan baku baja tahan karat (stainless steel). Saat ini, serapan nikel untuk kebutuhan industri stainless steel tercatat masih tertinggi di Indonesia.
Lebih dari itu, perusahaan listrik juga sangat butuh nikel meski dalam kadar rendah. Nikel adalah bahan baku pembuatan suku cadang mesin, kabel dan lain-lain. “Pendek kata kebutuhan nikel sangat intensif dalam perkembangan industri hulu sampai hilir. Karena itulah kami sangat optimis terhadap masa depan nikel Indonesia,” ujar Helmut.
Boleh dibilang Indonesia dan Filipina merupakan negara produsen nikel terbesar di dunia. IEA menilai hal ini merupakan peluang besar bagi negara-negara Asia Tenggara. Apa pun kebijakan yang diterapkan Indonesia, menurut IEA, dengan pasokan setengah dari pertumbuhan nikel global akan memberi pengaruh sangat signifikan terhadap rantai pasokan nikel dunia.
Indonesia pun telah menerapkan larangan ekspor biji nikel. Larangan tersebut diterapkan seiring dengan pengembangan industri hilir, agar sumber daya nikel bisa diolah di dalam negeri. Larangan ini tak pelak menjadi katalis yang mendongkrak harga nikel lebih tinggi.