EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk akan melakukan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Hal ini seiring pemerintah telah menyetujui pemberian penambahan modal negara sebesar Rp 2,48 triliun.
Perseroan menargetkan dana sebesar Rp 4,13 triliun dari aksi korporasi tersebut. Adanya tambahan modal tersebut, ekspansi kredit BTN diproyeksikan akan lebih besar dalam beberapa tahun mendatang.
Pada September 2022, perseroan menyalurkan kredit Rp 289,6 triliun atau tumbuh 7,18 persen secara tahunan. Dalam rights issue itu, bank spesialis kredit di sektor properti ini akan menerbitkan saham baru sebanyak-banyaknya 4,6 miliar saham Seri B dengan nilai nominal Rp 500 per saham.
Staf khusus Menteri Negara BUMN Arya Mahendra Sinulingga menilai tiga fakta penawaran umum terbatas II ini yang dilakukan BTN. Adapun penawaran umum terbatas II akan dilakukan pada Desember 2022.
Berdasarkan prospektus emiten bank yang fokus pada pembiayaan perumahan ini akan menerbitkan sebanyak 4,6 miliar saham dengan nominal Rp 500. Harga nominal tersebut bukan harga eksekusi atau pelaksanaan rights issue. Sebab, penentuan harga rights issue bakal ditetapkan menjelang pernyataan efektif dari regulator.
Menurut Arya, fakta pertama, efek dilusi. Keputusan Kementerian BUMN yang mengizinkan BTN melakukan rights issue merupakan bentuk apresiasi pemegang saham pengendali terhadap investor publik untuk meningkatkan atau mempertahankan porsi kepemilikan bank ini.
“Jika opsinya private placement (tanpa HMETD), investor publik justru kehilangan haknya untuk mempertahankan prosentase kepemilikan. Kami tidak memilih opsi ini sebagai bentuk terima kasih atas dukungan investor publik selama ini,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (16/11/2022).
“Mengacu ke prospektus awal, investor yang tidak melaksanakan (exercise) hak nya dalam rights issue akan terkena efek dilusi. Jadi, akan rugi kalau investor tidak eksekusi rights,” ucapnya.
Mengapa investor rugi kalau tidak exercise? Ini terkait dengan fakta kedua. “BTN itu sahamnya murah, tapi tidak murahan. Kinerja keuangannya bagus dan terus bertumbuh,” ucapnya. Saat ini yang terjadi, menurutnya, saham BTN undervalued dan sama sekali tidak mencerminkan fundamental kinerjanya.
“Intinya, performa harga saham belum sejalan dengan kinerja keuangannya. PBV Bank Himbara lain sudah di atas 2x, BBTN baru 0,76x. Hanya soal waktu, PBV BBTN akan sejajar dengan para sejawatnya, apalagi perolehan laba bersih terus meningkat dari waktu ke waktu dan fokus perusahaan KPR bersubsidi,” ucapnya.
Fakta ketiga, prospek bisnis BTN. Arya menjelaskan, banyak yang mengkhawatirkan kredit properti akan melambat imbas kenaikan inflasi dan suku bunga tinggi. “Soal inflasi dan suku bunga, memang demikian faktanya. Tapi dampak ke setiap bank, belum tentu sama apalagi urusan kredit perumahan. Tidak bisa digeneralisasi karena kondisi masing masing bank sangat berbeda,” ucapnya.
Contohnya produk kredit pemilikan rumah. Arya optimistis permintaan kredit pemilikan rumah BTN akan tetap tumbuh karena target pasarnya merupakan pemilik rumah pertama dan ditinggali. Mereka bukan tipe konsumen yang membeli rumah dapat investasi ataupun spekulasi. Jumlah calon pemilik rumah pertama itu berlimpah karena angka backlog masih sangat tinggi di mana sebagian besar adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. “BTN merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyalurkan kredit bersubsidi ke segmen MBR,” katanya.
Analis RHB Sekuritas Indonesia Ryan Santoso dan Andrey Wijaya menambahkan masuknya dana segar baru dari pelaksanaan rights issue bakal mengerek capital adequacy ratio BTN menjadi sekitar 19 persen sampai 20 persen, dibandingkan catatan September 2022 sebesar 17,3 persen.
“Kami memperkirakan masuknya dana segara baru tersebut akan memperkuat kemampuan perseroan untuk mendongkrak pertumbuhan kredit ke depan. Apalagi pemerintah merencanakan peningkatan pemberian subsidi pembelian rumah bagi 200 ribu unit pada 2023, dibandingkan target 2022 sekitar 168 ribu,” tulis RHB Sekuritas dalam risetnya.