EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global.
"Kita harus waspada termasuk pada risiko stagflasi atau perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi dan bahkan resflasi atau resesi ekonomi dan inflasi tinggi," katanya dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 yang digelar secara hybrid di Jakarta (30/11/2022).
Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut. Pengetatan kebijakan moneter juga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara.
Perry mengatakan The Fed diproyeksikan akan menahan suku bunga tingginya di level lima persen selama tahun 2023. Sehingga ini menjadi tantangan pengelolaan moneter di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Namun menurutnya, stabilitas eksternal akan tetap terjaga. Transaksi berjalan diprakirakan berada pada kisaran surplus 0,4 persen sampai dengan defisit 0,4 persen dari PDB pada 2023. Pada 2024, diproyeksi surplus 0,2 persen sampai dengan defisit 0,6 persen dari PDB.
"Sementara neraca modal dan finansial surplus didukung PMA dan investasi portofolio," katanya.
Ia optimistis bahwa aliran investasi akan tetap mengalir ke Indonesia. Sehingga nilai tukar dan yield SBN terus menjadi perhatian BI. Ketahanan sistem keuangan juga tetap terjaga baik dari sisi permodalan, risiko kredit, dan likuiditas.
BI memproyeksi pertumbuhan kredit akan tumbuh pada kisaran 10-12 persen pada 2023 dan 2024. Ekonomi dan keuangan digital juga akan meningkat pada 2023 dan 2024.
Beberapa indikator penilaian adalah transaksi e-commerce diprakirakan mencapai Rp 572 triliun dan Rp 689 triliun, uang elektronik Rp 508 triliun dan Rp 640 triliun, dan digital banking lebih dari Rp 67 ribu dan Rp 87 ribu triliun.