Kamis 08 Dec 2022 01:40 WIB

Kemenkeu: Penurunan Harga Komoditas Tantangan Pajak 2023

Pada 2023, Ditjen Pajak memperkirakan penerimaan pajak akan mencapai Rp1.718 triliun.

Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyebut penurunan harga komoditas, termasuk harga Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi andalan ekspor Indonesia, akan menjadi tantangan penerimaan pajak 2023. "Pada 2022, harga komoditas, termasuk CPO, meningkat cukup tinggi yang memberikan keuntungan bagi penerimaan pajak. Ini tidak akan terulang di 2023," katanya dalam International Tax Conference yang dipantau di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Pada 2023, Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan penerimaan pajak akan mencapai Rp1.718 triliun atau hanya tumbuh sekitar 5 persen secara tahunan. Pertumbuhan penerimaan pajak ini melemah dari 25 persen secara tahunan di 2022 dengan total penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp 1.608,1 triliun.

Baca Juga

Selain penurunan harga komoditas, penerimaan pajak yang tinggi pada 2022 juga disebabkan oleh Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan capaian pajak yang dikumpulkan sekitar Rp 60 triliun. "Program ini tidak akan diselenggarakan lagi di 2023, jadi penerimaan dari program ini akan hilang di 2023," katanya.

Kondisi ekonomi dan politik global yang tidak stabil, seperti perang di Ukraina, tendensi konflik antara China dan Taiwan, serta inflasi yang tinggi di berbagai negara, juga berisiko membuat penerimaan pajak Indonesia melemah pada 2023. "Pada saat yang sama, moderasi ekonomi secara global dapat membatasi kapasitas Indonesia dan industri di Indonesia untuk mengekspor produk. Ini sudah terlihat di berbagai sektor, terutama Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)," katanya.

Pasalnya negara maju seperti Eropa yang biasanya menjadi pangsa pasar produk tekstil Indonesia juga sedang mengalami pelemahan ekonomi, sehingga permintaan dari negara itu untuk produk-produk non pangan berpotensi melemah. "Banyak pelaku industri TPT melakukan lay off karena permintaan yang melemah terutama dari negara maju, karena negara seperti Eropa juga sedang krisis dengan inflasi tinggi di energi dan pangan," ucapnya. 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement