Mengutip data Bappebti, nilai transaksi aset kripto pada 2020 lalu sebesar Rp 64,9 triliun dan meningkat signifikan tahun 2021 menjadi Rp 859,4 triliun. Memasuki 2022, transaksi mengalami penurunan menjadi Rp 296,6 triliun.
Meski nilai transaksi dari 2021 ke 2022 menurun, Bappebti mencatat, terdapat peningkatan signifikan pelanggan kripto. Yakni dari 11,2 juta pelanggan menjadi 16,55 juta. Menurut Didid, pelanggan aset kripto kebanyakan berusia 18-35 tahun dan 70 persen diantaranya bertransaksi di bawah Rp 500 ribu.
"Jumlah pengguna semakin banyak dari kelas milenial, ini butuh pengaturan lebih baik dan jangan sampai mereka sekadar ikut-ikutan saja," kata dia.
Didid menambahkan, kendati Undang-Undang P2SK belum diundangkan secara resmi, Bappebti terus berkoordinasi antar lembaga. Mengacu pada undang-undang tersebut, masa peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK selama dua tahun. Adapun aturan peralihan itu harus diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang harus disusun dalam waktu enam bulan ke depan.
Bappebti dalam enam bulan ke depan juga akan merumuskan kelembagaan kripto seperti apa yang dibutuhkan Indonesia. Baik dari bursa kripto, lembaga kliring, serta kustodian yang harus dibentuk. Mekanisme perizinan penerbitan aset kripto juga harus ditentukan secara tepat.
"Enam bulan ini bisa jadi lama bisa jadi cepat. Kami tidak mau berspekulasi tapi kami sudah mencoba menyusun substansinya," katanya.
Sementara persiapan peralihan dan masa peralihatn berlangsung, Didid mengatakan pengawasan aset kripto sepenuhnya masih dilakukan oleh Bappebti. Ketika seluruh proses telah tuntas, baru akan diserahkan kepada OJK.