Rabu 18 Jan 2023 16:45 WIB

Krisis Pangan Mengancam, Intensifikasi Lahan Pertanian Makin Mendesak

Pembukaan lahan bertentangan dengan prinsip berkelanjutan dan memperburuk kondisi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas Dinas Pertamanan dan Kehutanan menyiapkan tumbuhan yang akan ditanam pada lahan yang akan dibuat menjadi kawasan hijau di kolong Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu), Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan penataan kawasan hijau sepanjang 2,7 kilometer dari target 5 kilometer di kolong Tol Becakayu dengan tanaman hias dan sistem pertanian perkotaan (urban farming) untuk meningkatkan ketahanan pangan kota. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas Dinas Pertamanan dan Kehutanan menyiapkan tumbuhan yang akan ditanam pada lahan yang akan dibuat menjadi kawasan hijau di kolong Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu), Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan penataan kawasan hijau sepanjang 2,7 kilometer dari target 5 kilometer di kolong Tol Becakayu dengan tanaman hias dan sistem pertanian perkotaan (urban farming) untuk meningkatkan ketahanan pangan kota. Republika/Putra M. Akbar

EKBIS.CO, JAKARTA -- Di tengah meningkatnya kebutuhan akan pangan dan semakin banyaknya tantangan dalam penyediaannya, urgensi untuk mengadopsi kebijakan intensifikasi pertanian yang fokus pada prinsip keberlanjutan semakin mendesak.

"Kebijakan intensifikasi yang fokus pada prinsip keberlanjutan perlu segera diadopsi secara menyeluruh untuk mendukung daya dukung sektor ini pada kebutuhan pangan," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (18/1/2023).

Baca Juga

Faisol melanjutkan, salah satu penyebab urgensi kebijakan intensifikasi pertanian adalah krisis iklim global yang mengganggu produktivitas pertanian. Krisis iklim, yang salah satunya berdampak pada ketidakpastian cuaca, membawa tantangan dan ancaman bagi produktivitas pertanian di Indonesia dan dunia.

Implementasi kebijakan intensifikasi pertanian sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini karena kebijakan ini memanfaatkan lahan yang sudah ada melalui penggunaan bibit unggul, perbaikan kualitas dan nutrisi tanah, penggunaan pupuk yang sesuai dan juga adopsi teknologi pertanian.

Peningkatan kesadaran petani atas urgensi adaptasi pola pertanian yang sesuai dengan perubahan iklim juga perlu dilakukan. Misalnya, melalui penyuluhan dan transfer pengetahuan dalam kerjasama investasi pertanian.

"Perluasan area tanam tidak menjamin peningkatan produktivitas pangan. Sebaliknya, hal ini berbahaya untuk lingkungan dan merugikan masyarakat," ujarnya.

Pembukaan lahan yang seringkali menyasar lahan hutan, padang rumput dan lahan gambut justru memperparah permasalahan krisis iklim dunia. Pembukaan lahan juga mengancam kelangsungan aspek sosial dan ekonomi masyarakat serta mengganggu keanekaragaman hayati yang juga penting bagi keberlanjutan hidup manusia.

Komitmen pemerintah dalam menangani dampak buruk perubahan iklim pada produktivitas pertanian dan juga ketahanan pangan di Indonesia, serta terwujudnya pertanian berkelanjutan harus diwujudkan dengan aksi nyata dan dieksekusi dengan strategi yang lebih komprehensif.

Namun, Faisol mengingatkan, intensifikasi pertanian melalui penggunaan alat pertanian modern dan berkualitas memerlukan investasi yang besar. Maka sudah selayaknya pemerintah juga fokus untuk menjaga iklim investasi pada sektor pertanian.

Selain itu, akses terhadap pupuk yang berkualitas dan terjangkau perlu dijamin karena ketidakpastian pasokan dan mahalnya pupuk dapat mendorong praktik penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis. Harga pupuk bisa semakin tinggi jika melihat krisis energi yang sedang berlangsung.

Kesenjangan harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi perlu diperkecil supaya tidak memunculkan potensi pasar gelap yang akan merugikan petani dalam mengakses pupuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

Pihaknya pun menyesalkan karena saat ini pemerintah justru lebih menggunakan kebijakan ekstensifikasi pertanian untuk menjawab tantangan ketersediaan pangan, seperti lewat program Food Estate.

Alih-alih menjadi solusi, pembukaan lahan justru bertentangan dengan prinsip berkelanjutan dan ikut memperburuk kondisi iklim global.

"Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi sama-sama punya tujuan untuk meningkatkan produksi. Tetapi mempertimbangkan berbagai tantangan sektor pertanian, pembukaan lahan secara paksa dan besar-besaran malah berbahaya untuk sektor pertanian dalam jangka panjang," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement