EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengundang investor global untuk ikut membangun hilirisasi di Indonesia.
Saat membuka panel diskusi di Paviliun Indonesia yang digelar selama World Economic Forum (WEF) 2023 di Davos, Swiss, Rabu (18/1/2023), Bahlil menegaskan fokus Pemerintah Indonesia pada penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi yang berorientasi pada energi dan industri hijau. Kata Bahlil, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang fokus menjalankan proses nilai tambah di negaranya sendiri.
"Ini semua sudah berjalan, ini sudah dimulai. Kami mengundang investor datang membawa teknologi, modal, dan sebagian pasar. Kami ditugaskan Presiden untuk memberikan jaminan percepatan perizinan kepada investor," ungkap Bahlil dalam keterangan di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Bahlil memaparkan, arah kebijakan hilirisasi investasi strategi Indonesia yang tidak hanya untuk sumber daya nikel. Ia menjelaskan, ada delapan sektor prioritas untuk didorong hilirisasinya yaitu mineral, batu bara, minyak bumi, gas alam, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan dengan 21 komoditas turunannya.
Kebijakan ini sudah berjalan dan direncanakan nilai investasinya hingga 2035 mencapai 545,3 miliar dolar AS. Bahlil mengakui, perjuangan Indonesia menginisiasi hilirisasi mendapatkan pertentangan luar biasa dari dunia. Namun, hilirisasi ini adalah jalan tengah untuk Indonesia berubah dari negara berkembang menuju negara maju. "Indonesia dan negara berkembang lainnya ingin menapaki anak tangga yang sama dengan negara maju," kata Bahlil.
Hilirisasi juga dinilai tidak hanya untuk menguntungkan pengusaha dan investor, juga berkolaborasi dengan pengusaha daerah dan UMKM yang ada di daerah agar tumbuh bersama-sama.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dalam sesi panel diskusi menyampaikan, Pertamina mendukung program hilirisasi melalui pengembangan infrastruktur untuk ekosistem kendaraan listrik serta mencapai Net Zero Emission melalui transisi energi. Menurut Nicke, diperlukan kolaborasi antara negara maju dan negara berkembang untuk melaksanakan transisi energi menuju energi hijau.
"Tantangan terbesar dalam transisi energi adalah pembiayaan, teknologi, dan kesiapan sumber dayamanusia. Kerja sama global dengan aksi nyata antara negara merupakan kunci untuk memperlancar transisi energi," ungkap Nicke.