EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) sudah melakukan restrukturisasi kredit kepada 4.001.216 nasabah dengan nilai Rp Rp 256,38 triliun per September 2022. Seperti diketahui, restrukturisasi kredit merupakan program saat pandemi Covid-19 guna membantu pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berpotensi mengalami kesulitan membayar cicilan.
Program itu dijalankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Maret 2020 dan kini diperpanjang hingga 2024. "Jujur saya katakan, BRI telah mencadangkan lebih dari cukup, tapi saya yakin dan percaya OJK sangat paham tentang situasi perbankan dan industri keuangan. Maka kebijakan ini masih diperlukan agar diperpanjang," kata Direktur Utama BRI Sunarso dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI yang dipantau secara virtual, Selasa (24/1/2023)
Ia menuturkan, sisa restrukturisasi kredit BRI per September 2022 sebesar Rp 116,45 triliun. Jumlah nasabah restrukturisasi kredit yang terdampak Covid-19 juga sudah berkurang menjadi 1.390.736 nasabah.
Dari empat juta lebih nasabah yang mendapatkan fasilitas itu, kata dia, kini sebanyak 53,1 persen atau 2.124.602 nasabah sudah mampu membayar. Kemudian yang sudah lepas restrukturisasi kredit dan menjadi sehat sebanyak 174.565 nasabah.
"Bisa membayar Rp 91,6 triliun itu ada lunas putus Rp 43,23 triliun. Ada yang mampu menurunkan pokoknya sesuai ketentuan restrukturisasi itu Rp 11,08 triliun, dan ada yang lunas kemudian ngambil lagi itu Rp 37,27 triliun. Kemudian lepas restrukturisasi artinya dia sehat kembali sebanyak Rp 35,6 triliun," jelas dia.
Ia menyebutkan, sejak pandemi sampai sekarang akumulasi kredit UMKM yang direstrukturisasi sebesar Rp 256,376 triliun. "Lalu yang benar-benar tidak bisa diselamatkan hanya Rp 12,749 triliun," kata Sunarso.
Dirinya menyebutkan, pada 2023 tren industri perbankan Indonesia akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya bonus demografi penduduk, menurutnya tren jumlah penduduk usia produktif akan meningkat mencapai 64 persen pada 2030.
Lalu, perubahan perilaku nasabah yang cenderung melakukan transaksi digital. Pembayaran transaksi digital pun meningkat lebih dari 30 persen, sedangkan transaksi tunai turun tinggal 10 persen.
Kemudian implementasi Environmental, Social, and Governance (ESG). Menurutnya, perhatian investor terhadap aspek ESG berpengaruh terhadap perubahan tata kelola dan bisnis perbankan.
Selanjutnya Low interest rate environment. "Tren penurunan credit yield berdampak pada NIM (Net Interest Margin) yang semakin tertekan. Kalau kita lihat di 2010 itu NIM bisa lebih 10 persen tapi 2022 ini hanya sekitar 6 persen, sehingga saya pikir bank perlu memperluas fungsi intermediasi,” tuturnya.
Berikutnya, utilisasi data dan teknologi akan semakin dominan, penggunaan data analitik mempercepat proses bisnis credit underwriting dan marketing. Terakhir, lanjut Sunarso, kompetisi dengan financial technology (fintech).
“Jadi persaingan yang semakin ketat. Ini seiring hadirnya pemain-pemain nonbank seperti fintech," kata dia.