EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah terus berupaya menahan Devisa Hasil Ekspor (DHE) para eksportir di Tanah Air dengan kebijakan baru. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE masih dalam pembahasan pemerintah dan otoritas.
Peraturan baru diharapkan dapat selesai pada Februari 2023. "Selesai bulan ini. Kita tunggu saja kan Februari masih sampai tanggal 28," ujar Sri Mulyani di Jakarta (1/2/2023).
Dalam konferensi pers Hasil Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), ia menyebutkan ada beberapa area yang masih akan didiskusikan. Diantaranya terkait cakupan dari subjek DHE, threshold, dan mekanisme insentif yang akan diberikan.
Pemerintah menilai, desain threshold nilai ekspor dan lamanya DHE bertahan di Tanah Air penting, agar tidak mengganggu bisnis para eksportir. Pemerintah pun mengklaim aturan yang masih dibahas ini tidak akan keluar dari jalur rezim devisa bebas yang diterapkan di Indonesia sekarang.
"Kita desain agar tidak bertentangan dengan rezim devisa bebas. Jadi kita tetap jaga rambu-rambu," jelasnya Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK, Selasa (31/1/2023).
Indonesia, kata dia, tetap berkomitmen menjaga rezim devisa yang tidak menghalangi investasi dan ekspor. "Ini yang akan kita finalkan di dalam PP 1/2019 yang sedang kita revisi," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, guna menghadapi ancaman stagflasi dan kenaikan tingkat suku bunga di beberapa negara, pemerintah menyiapkan berbagai langkah. Di antaranya mewajibkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) disimpan di dalam negeri.
"Kita harus mengambil payung sebelum hujan. Maka devisa hasil ekspor itu harus menjadi buffer ekonomi kita," ujarnya usai Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Ia menyebutkan, Peraturan Pemerintah (PP) terkait DHE akan disiapkan dalam waktu tiga bulan. Usulannya pun kini sedang dibahas.
Dirinya menuturkan, masuknya DHE ke dalam negeri bertujuan mencegah pelarian modal atau capital flight dari Indonesia. Itu karena beberapa negara yang tengah menghadapi stagflasi, inflasi tinggi, serta pertumbuhan ekonomi rendah bahkan negatif seperti Amerika Serikat (AS).