EKBIS.CO, Tiap kali ada berita harga bahan pokok naik, mesti pedagang jadi sasaran untuk ditanyai soal apa sebabnya. Meski untung tak seberapa, mereka kerap kali dituntut untuk tetap menjaga harga agar terjangkau di kantong konsumen.
Namun seringkali terlupakan, pedagang juga manusia yang punya banyak mimpi. Memang tak melulu soal uang yang banyak atau menjadi juragan. Tapi, jauh lebih mendasar dan kadang tak terpikirkan, apakah mereka punya tempat tinggal layak setelah seharian penuh berkeringat menjajakan dagangannya?
Bagi sebagian mereka yang berprofesi sebagai pedagang, memiliki aset properti bernilai ratusan juta boleh jadi menyilaukan. Selain karena sebagai pekerja informal, pendapatan pedagang pasar tentu tak stabil seperti umumnya karyawan tetap.
Namun, pemahaman itu kini sebatas klise. Sebuah stereotipe yang nir-relevan dengan kemajuan properti yang kian inklusif.
Hampir setahun, Yuli Sri Mulyati sudah menempati rumah barunya di sudut Bekasi. Yuli yang juga sebagai Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) wilayah Bekasi menjadi satu dari delapan pedagang Pasar Cikarang yang berhasil mencapai akad kredit kepemilikan rumah (KPR) Bank BTN melalui program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dengan subsidi hingga Rp 40 juta.
Dengan harga rumah sebesar Rp 168 juta, ia hanya perlu membayar Rp 128 juta dengan cicilan dua tahun pertama sebesar Rp 1,3 juta per bulan dan selanjutnya mengikuti suku bunga. Cicilan itu ia angsur dalam tempo 15 tahun.
Kepada Republika.co.id Yuli bercerita, harus ada kemauan dan tekad yang kuat sebagai pedagang jika ingin memiliki rumah dambaan. Sebab impian harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Langkah pertama yang ia siapkan, membuat Surat Kegiatan Usaha (SKU) sebagai legalitas usaha. Pedagang tak lagi perlu minder sebagai pekerja informal, karena yang terpenting mampu mengelola dengan baik usahanya bahkan terus berkembang. Toh, para konglomerat dulunya pedagang juga.
Tahapan kedua, Yuli harus memastikan riwayat kredit yang dimiliki harus sehat sebelum proses BI Checking. Proses BI Checking cukup menentukan seorang pedagang bisa atau tidak mendapatkan KPR rumah subsidi. Sebab itu mencerminkan kepatuhan terhadap kewajiban membayar cicilan.
Setelah dua proses utama itu dilalui, selanjutnya tinggal mengikuti proses dari BTN sesuai prosedur hingga bisa menginjakkan kaki di rumah sendiri. Yuli mengatakan, pengalaman yang ia dapatkan sekaligus membantah anggapan pedagang tak bisa memiliki rumah pribadi.
"Pedagang bisa punya rumah, yang penting mau usaha dan usahanya jelas. Rumah subsidi yang didapat juga bagus, berbeda dari anggapan dahulu kalau rumah subsidi itu seperti rumah burung," ujarnya kepada Republika.co.id, baru-baru ini.
Namun, ia menuturkan, kemudahan bisa mendapatkan rumah juga terbantu melalui program kerja sama antara Ikappi dan Bank BTN. Program fasilitasi KPR berbasis komunitas cukup memudahkan para pedagang yang tergabung dalam organisasi. Itu, dinilai Yuli sebagai satu terobosan besar menjawab tantangan kepemilikan rumah bagi sektor informal.
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Yuli mengaku, para pedagang yang memperoleh KPR lantas ikut masuk menjadi nasabah Bank BTN. Rutin menabung. Artinya, secara langsung pedagang serta merta berperan dalam peningkatan inklusi keuangan nasional.
"Teman-teman pedagang satu per satu mulai membuat rekening Bank BTN. Dulu orang tahunya BTN itu kalau mau ambil KPR, ternyata bisa menabung juga. Alhamdulillah," ucapnya.
Tercatat Ikappi sejauh ini menaungi sekitar 1,8 juta pedagang di seluruh Indonesia. Wakil Sekretaris Jenderal Ikappi, Teguh Setiawan, menjelaskan, sedikitnya lebih dari 800 ribu pedagang anggota Ikappi belum memiliki rumah sendiri.
Melalui fasilitasi kemudahan mengambil KPR, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para anggota. Ikappi mendata sudah ada sekitar 500 pedagang yang sudah berhasil mencapai akad KPR di BTN.
"Anggota kami masih banyak yang hanya memiliki rumah warisan, sebagian besar kontrak. Maka dari itu, ini adalah program unggulan yang akan diteruskan di seluruh Indonesia," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pasar Nasional (Inkoppas), Ngadiran, menambahkan, pedagang utamanya membutuhkan tempat usaha yang layak, bersih, dan nyaman bagi mereka dan para konsumennya.
Akan tetapi, kebutuhan terhadap sandang tak bisa dikesampingkan. Bukan tanpa sebab, Inkoppas mencatat baru sekitar 40 persen anggota di seluruh Indonesia yang memiliki rumah pribadi. "Kebutuhan untuk dapat KPR itu juga perlu," kata Ngadiran kepada Republika.co.id.
Keberpihakan
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan kuota penyaluran dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP tahun 2022 sebanyak 220 ribu unit rumah subsidi yang dikhususkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dana FLPP yang dialokasikan sebanyak Rp 25,18 triliun sementara dana Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) disiapkan Rp 890 miliar untuk kuota rumah subsidi tahun ini.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan, Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna kepada Republika.co.id menjelaskan, kuota 2023 meningkat dari alokasi tahun lalu sebanyak 200 ribu unit rumah subsidi.
Selain itu yang berbeda kali ini, pemerintah mengalokasikan sebanyak 50 ribu unit dari total 220 ribu unit bagi pekerja informal.
"Jadi ada realokasi, sebab ketika (tahun) kemarin dilepas, akhirnya yang muncul pekerja informal semua. Makanya, kita coba dedikasikan 50 ribu unit untuk informal," kata Herry.
Pemerintah meyakini, dengan porsi 50 ribu unit pekerja informal dari kalangan MBR yang mendapatkan rumah bakal makin banyak. Sebagai catatan, tahun lalu, pekerja informal yang memperoleh KPR rumah subsidi baru sekitar 12 ribu orang.
Lantas, bagaimana mencapai target 50 ribu unit itu? Herry membeberkan pemerintah bersama perbankan, termasuk BTN yang menjadi garda terdepan KPR bakal memulai dari komunitas. "Mumpung masih awal kita akan berangkat dari komunitas, jika dimulai dari sekarang mestinya nanti akan terkumpul jumlahnya," kata Herry.
Tahun lalu, program BP2BT dengan subsidi Rp 40 juta menjadi strategi untuk menjangkau pekerja informal dari komunitas. Kisah Yuli jadi salah satu contoh nyata.
Herry pun menuturkan, pemerintah masih mengevaluasi capaian BP2BT tahun 2022. Masih sangat memungkinkan melanjutkan program itu baik dengan skema pembiayaan APBN atau skema lainnya.
"Ini akan digalakkan lagi karena masih banyak yang belum punya rumah. Contoh lain seperti (pengemudi) Gojek, Grab, Bluebird, termasuk asosiasi tukang cukur, ini sangat terbuka untuk difasilitasi," paparnya.
Direktur Utama Bank BTN, Haru Koesmahargyo dengan tegas menyampaikan sektor informal masih menjadi salah satu segmen yang disasar perseroan tahun ini. Pihaknya juga telah menyusun grand design kajian pembiayaan ke sektor informal yang telah disampaikan kepada Kementerian PUPR.
Kalangan sektor informal menjadi salah satu target yang tepat karena sangat membantu menyelesaikan backlog perumahan. Terlebih pemerintah sudah bertekad mencapai zero backlog 2045 dengan perkiraan kebutuhan tambahan hunian lebih dari 14 juta unit.
"Kajian ini kami harapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat memperkuat langkah kita menyelesaikan backlog dari sektor informal," katanya kepada Republika.co.id.
Skema baru KPR FLPP menjadi salah satu strategi utama Bank BTN. Selain itu ada pula skema KPR Rent to Own untuk MBR informal.
Direktur Consumer Bank BTN Hirwandi Gafar menjelaskan, skema baru KPR FLPP diusulkan dengan masa tenor subsidi selama 10 tahun dan bunga lima persen. Pada tahun, berikutnya diberlakukan penyesuaian skema mengikuti perbaikan ekonomi debitur KPR Subsidi.
Sedangkan skema KPR Rent to OWN MBR informal, debitur bisa menikmati fasilitas sewa selama enam bulan sebelum mendapatkan KPR.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, berpendapat, daya beli menjadi salah satu isu utama dari pekerja informal. Meskipun, banyak juga dari mereka yang punya daya beli lebih baik.
Perbankan bisa lebih melonggarkan persyaratan salah satunya dibuktikan dengan memiliki tabungan. Senada dengan Herry, pembiayaan berbasis komunitas dan koperasi menjadi alternatif strategis dalam menyasar pekerja informal agar lebih bankable.
Ia pun sepakat perhatian pemerintah dan perbankan terhadap sektor informal harus lebih besar demi mencapai target 50 ribu unit rumah subsdi bagi MBR informal di tahun 2023.
"Ini harus jadi kampanye nasional sehingga perbankan akan ikut dan semua Bank BTN harus berkolaborasi dengan semua bank BUMN," ujar dia.