EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan kebijakan ke depan, Indonesia akan fokus pada hilirisasi. Hal itu dimulai dari hilirisasi nikel hingga target menjadi produsen baterai.
"Hilirisasi harga mati. Di mana hilirisasi pendekatannya green industry dan green energy," kata Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia dalam Webinar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (8/2/2023).
Bahlil menegaskan, Indonesia ingin melakukan hilirisasi dalam hal penataan lingkungan dan menciptakan nilai tambah dalam kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Selain itu juga memberikan lapangan pekerjaan layak dan berkolaborasi dengan UMKM.
Dalam menciptakan nilai tambah, Bahlil mengungkapkan, upaya tersebut sudah terlihat dalam hilirisasi nikel. Dia menjelaskan, pada 2017 hingga 2018, Indonesia melakukan ekspor nikel saat belum melakukan hilirisasi dengan nilainya hanya sekitar 3,35 miliar dolar AS.
Selanjutnya pada 2019 hingga 2020, Indonesia melarang ekspor nikel dengan melakukan hilirisasi. Lalu pada 2021 ekspor nikel berhasil meningkat menjadi 20,9 miliar dolar AS dan pada 2022 mencapai hampir 30 miliar dolar AS.
Bahlil memastikan, Indonesia melakukan hilirisasi secara komprehensif dengan membangun ekosistem turunan nikel seperti baterai mobil listrik. "Di Indonesia kami ingin bagaimana menjadi salah satu negara produsen baterai terbesar di dunia," jelas Bahlil.
Bahlil menyayangkan, upaya Indonesia dalam hilirisasi tersebut justru berujung gugatan yang dilakukan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
"Masih aja ada negara seperti penjajah baru. Ini tidak benar. Dengan alasan bahwa ini terjadi monopoli pasar padahal kita melakukan hilirisasi itu dalam rangka pembangunan berkelanjutan," ungkap Bahlil.
Bahlil menganggap jika Indonesia terus mengekspor nikel tanpa mengupayakan hilirisasi maka akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Dia menegaskan, Indonesia berusaha mematuhi kaidah lingkungan.
"Sekalipun dibawa ke WTO, hak mereka. Tapi kami tidak akan gentar melawan itu karena semua negara harus menghargai keputusan. Nggak boleh negara A mengintervensi negara B," tutur Bahlil.