Karena tidak ditempatkan di dalam kredit, bank menaruh DPK ke Surat Berharga Negara/SBN (US Treasury di AS). Namun, karena saat itu US Treasury memiliki imbal hasil yang rendah sekali menimbang tingkat suku bunga sedang rendah-rendahnya, bank menaruh dana ke tenor-tenor panjang hingga 10 tahun dan di atas 10 tahun dengan sensivitas harga yang sangat tinggi.
"Kalau suku bunga naik, obligasi turun, kalau suku bunga turun, obligasi naik. Jadi mereka menempatkan DPK ke obligasi yang tenornya jangka menengah dan panjang di saat suku bunga sedang rendah-rendahnya. Jadi ini sudah tidak ada pilihan lain selain normalisasi kebijakan Bank Sentralnya AS (The Fed) menaikkan suku bunganya lagi (hingga lebih dari 400 bps/basis point) yang dilakukan sepanjang tahun 2022," ucap Diendy.
Kenaikan suku bunga kemudian menekan harga obligasi yang dikeluarkan. Pada saat yang bersamaan, karena Bank Sentral memperketat likuiditas di pasar, otomatis masyarakat yang sebelumnya sudah mempunyai saving akhirnya mulai menarik saving untuk ekspansi bisnis, konsumsi, dan lain sebagainya.
Ketika DPK mulai ditarik kembali oleh nasabah, ujar dia, bank mau tidak mau melepas kepemilikan surat berharga tersebut dalam kondisi rugi. "Jadi, tidak ada kegagalan yang disebabkan kredit macet, bukan disebabkan adanya malpraktik seperti tahun 2008. Ini simply karena ketidakmampuan bank kelola DPK dengan baik, jadi kita menganggap tidak akan ada domino efek seperti 2008," ungkapnya.