Kendati demikian, menurut Yusuf usulan Bank Dunia yang meminta pemerintah Indonesia untuk mengubah batas garis kemiskinan merupakan hal yang wajar. Sebab suatu negara memiliki penghitungan berbeda dengan Bank Dunia terkait batas kemiskinan.
Kasus Indonesia, wajar saja jika pemerintah (BPS) memiliki ukuran garis kemiskinan nasional yang berbeda dari yang dimiliki Bank Dunia. "Analisis kemiskinan antarnegara, memang yang lebih tepat digunakan ukuran kemiskinan dari Bank Dunia, tapi analisis kemiskinan nasional ya kita gunakan garis kemiskinan BPS," ucapnya.
Menurutnya ketika Bank Dunia menganjurkan perubahan batas kemiskinan, sesuai ukuran Bank Dunia, tujuannya perbandingan kemiskinan antar negara. Dalam analisis kemiskinan global, ukuran yang dipakai yakni pendekatan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dalam dolar AS.
Pendekatan PPP ini berbeda dengan nilai tukar valas. Misal, pada 2021, satu dolar AS PPP itu setara dengan Rp 4.758. Jadi ketika Bank Dunia menaikkan batas garis kemiskinan ekstrem dari 1,90 dolar AS menjadi 2,15 dolar AS, maka ini setara dengan Rp 10.229 per orang per hari atau Rp 306.870 per bulan, naik dari sebelumnya Rp 9.040 per orang per hari atau Rp 271.200 per bulan.
"Dengan perubahan garis kemiskinan maka jumlah penduduk miskin berubah. Ukuran Bank Dunia sebelumnya, 1,9 dolar AS adalah berbasis PPP 2011, sedangkan yang baru 2,15 dolar AS basisnya adalah PPP 2017, jadi ukuran yang sekarang lebih relevan, dan hasilnya jumlah penduduk miskin bertambah," ucapnya.