Rabu 17 May 2023 10:57 WIB

25 Tahun Reformasi, Ekonom: Ketimpangan Makin Jadi

25 tahun setelah reformasi, Indonesia kini disebut dikuasai oligarki.

Rep: Novita Intan/ Red: Lida Puspaningtyas
Ekonom Senior Faisal Basri.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ekonom Senior Faisal Basri.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kondisi perekonomian Indonesia tidak banyak berubah setelah 25 tahun reformasi. Jika dulu negara dikuasai konglomerasi, kini Indonesia justru berada dalam pusaran oligarki. Ketimpangan pun semakin menjadi.

Ekonom Senior Indef Faisal Basri mengatakan, ketimpangan bisa dilihat dari jumlah saldo rekening perbankan masyarakat. Inklusi keuangan memang sudah meningkat, tapi jumlah yang tidak punya rekening perbankan juga menunjukkan ketimpangan.

Baca Juga

Faisal mengungkapkan aset deposit bank semakin jauh gap-nya. Rekening masyarakat yang memiliki saldo di bawah Rp 100 juta jumlahnya sebanyak 99 persen. Sementara masyarakat yang memiliki simpanan senilai Rp 5 miliar lebih hanya 0,03 persen, namun mencatatkan pertumbuhan nilai dari 40 persen menjadi lebih dari 50 persen.

“Ketimpangannya sekarang dahsyat sekali dan itu riil karena pendapatan atau setidaknya tabungan,” ungkapnya saat diskusi bertajuk ‘Refleksi 25 Tahun Reformasi dalam Perspektif Ekonomi dan Pemberantasan Korupsi’, yang digelar Core Indonesia, Selasa (16/5/2023).

Konglomerasi dan oligarki menjadi salah satu penyebab yang masih dipelihara. Konglomerasi merupakan perusahaan besar yang memiliki banyak anak perusahaan berbagai bidang. Sementara oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan dalam sebuah negara, yang kekuasaannya dipegang oleh kelompok tertentu.

"Sekarang kita lihat apa yang terjadi setelah 25 tahun reformasi, konglomerasi berubah bentuk menjadi oligarki, karena sentimen anti china sekarang giliran pribumi dong. Kemudian datanglah pribumi-pribumi itu atas nama segala macam merasa berhak datang ke bank," ujarnya.

Menurutnya pada era sebelum reformasi, sumber daya alam masih dikelola oleh negara dan memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pajak. Namun, kondisi tersebut sangat jauh berbeda saat ini, salah satunya terkait batu bara.

Pada 2022, ekspor batu bara sebesar Rp 850 triliun, tetapi negara disebut enggan mengambil pajak ekspor. Hal ini pun membuat negara tidak mendapatkan windfall profit. Menurutnya, kondisi itu mampu membuka celah bagi pengusaha bidang tersebut untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia pada pemilihan umum pada tahun depan.

“Dikasih Rp 100 triliun pemilihan presiden yang akan datang, selesai. Dia yang menentukan, saya mau yang ini atau mau yang ini,” ucapnya.

Selain terjadi oligarki, para konglomerat dalam negeri kini juga menguasai sumber daya alam yang ada di Indonesia. Hal semacam itu menurut Faisal tidak terjadi pada masa lalu.

"Waktu itu konglomerat tidak menguasai sumber daya alam seperti sekarang. Sumber daya alam dikuasai oleh negara, Pertamina 100 persen punya negara, Pertamina sebagai operator dan regulator, masuk semua ke APBN," ucapnya.

Salah satu contohnya, kata Faisal adalah Pertamina. Perusahaan kilang minyak tersebut dulu 100 persen milik negara. Pertamina dulu berfungsi sebagai operator maupun regulator.

Dia menuturkan Pertamina sebelum reformasi berkontribusi pada anggaran pendapatan dan belanja negara. Sumbangan pajak dari Pertamina, tuturnya, mencapai 60-70 persen.

Menurutnya pada masa itu juga penerimaan pajak tergolong masih sangat rendah. "Penerimaan pajak masih rendah, Pertamina sumbangan ke pajaknya 60 — 70 persen, jadi 100 persen dapat dikatakan sumber daya alam itu dikelola oleh negara dan masuk anggaran," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement