EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menargetkan Indonesia sudah memiliki acuan harga ekspor sawit sendiri mulai akhir tahun ini. Acuan harga tersebut bakal diperoleh dari bursa sawit yang segera diluncurkan pada Juni mendatang.
"Setelah (bursa) kita luncurkan, harapannya akan terbentuk price discovery dari supply demand di bursa. Terbentuk mudah-mudahan paling lambat akhir tahun ini, price reference sudah bisa kita tetapkan karena itu diyakini (pelaku pasar)," kata Didid dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Ia menjelaskan, setelah terbentuknya bursa sawit, para pembeli dan penyuplai akan bertemu dan tercipta penawaran harga. Dengan keberadaan bursa sawit, diharapkan harga acuan sawit untuk ekspor akan lebih transparan.
Di sisi lain, Indonesia juga tak lagi perlu bergantung pada bursa sawit Malaysia seperti yang selama ini terjadi. "Saya belum katakan kami berhasil, tapi setidaknya ini satu langkah lagi," ujarnya.
Pihaknya pun memastikan bursa komoditas sawit bakal diluncurkan pada Juni 2023 seiring dengan akan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan.
Namun, ia menggarisbawahi bursa sawit yang akan dibentuk hanya khusus sebagai acuan harga ekspor CPO dengan kode HS 15.111.000. Sementara untuk perdagangan dalam negeri tidak masuk ke dalam bursa. Kebijakan tersebut juga telah dikonsultasikan bersama Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri sekaligus Badan Kebijakan Perdagangan.
Tercatat, rata-rata produksi CPO nasional per tahun sekitar 50 juta ton. Didid menuturkan, volume yang diekspor setahun sekitar 30 juta ton.
"Dari 30 juta ton itu, yang masuk kode HS 15.111.000 itu hanya sekitar 9,75 persen atau mendekati 3 juta ton, inilah yang akan kami wajibkan untuk ekspornya nanti melalui bursa," ujarnya menambahkan.
Namun, ia menegaskan, untuk bisa melakukan ekspor melalui bursa, setiap pelaku usaha tetap harus menjalani kewajiban domestic market obligation (DMO). Kebijakan itu untuk memastikan agar pasokan minyak sawit untuk kebutuhan minyak goreng tetap terpenuhi.
Didid melanjutkan, harga yang terbentuk di dalam bursa merupakan harga murni sebelum pajak seperti bea keluar dan pungutan ekspor. Soal lembaga pengelola bursa, Didid menjelaskan hingga saat ini belum ditentukan. Sejauh ini Indonesia telah Bursa Berjangka Jakarta (JFX) dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX).