Selasa 06 Jun 2023 14:18 WIB

Pemerintah Waspadai Penerapan Sistem Perdagangan Karbon

Penerapan pajak akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Foto: AP Photo/Jose Luis Magana
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Pemerintah mewaspadai penerapan sistem perdagangan karbon akibat gejolak perekonomian global. Adapun penerapan ini dilakukan pemerintah sebagai langkah terobosan menuju ekonomi hijau.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Dalam beleid tersebut terdapat dua instrumen, yakni sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatory dan offsetting serta berbasis nonperdagangan yang diperkenalkan melalui result based payment.

Baca Juga

"Walaupun tujuannya baik untuk meningkatkan ekonomi agar konsisten dengan penurunan emisi, ini harus hati-hati karena sebuah perubahan pasti menimbulkan shock," ujarnya saat webinar Green Economy Forum, Selasa (6/6/2023).

Sri Mulyani menyebut, untuk meminimalkan dampak negatif dari perdagangan karbon, pemerintah menerapkan kebijakan ini secara bertahap, yakni dimulai dari sektor energi melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022.

"Strategi kita bagaimana introduce perubahan itu dengan konsekuensi sosial, ekonomi, dan finansial seminimal mungkin," katanya.

Pemerintah telah menetapkan 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berpotensi ikut emission trading system pada 2023, dengan total kapasitas 33.565 megawatt atau 86 persen dari total PLTU di Indonesia.

"Ini kemajuan, berarti para PLTU paham mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan masyarakat tapi juga mengeluarkan emisi CO2 yang memperburuk perubahan iklim," ujarnya.

Pemerintah juga akan menetapkan pajak karbon dengan tarif yang telah diamanatkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan minimal Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen.

"Penerapan pajak juga akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positifnya diinginkan tapi dampak negatif juga diperhatikan, sehingga ekonomi Indonesia mampu berlanjut dari pertumbuhan stabilitas dan mampu bertransformasi," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement