EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan kapasitas hingga 3.000 gigawatt, tapi potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 12,5 gigawatt.
"Pada peta jalan transisi energi menuju Net Zero Emission di 2060, seluruh permintaan listrik ditargetkan dipenuhi oleh pembangkit energi baru dan terbarukan dengan total kapasitas kurang lebih 700 gigawatt," kata Arifin dalam webinar Green Economy Forum, Selasa (6/6/2023).
Ia menargetkan sampai 2030 Indonesia bisa menambah produksi listrik dari sumber EBT hingga mencapai 21 gigawatt sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.
Untuk itu pemerintah akan membangun infrastruktur super grid dan smart grid yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas antarpulau, mengurangi dampak intermittency, mengatasi divergensi antara sumber energi terbarukan lokal dan lokasi dengan permintaan energi listrik yang tinggi.
Kata Arifin, peluang pengembangan EBT semakin meningkat seiring dengan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga EBT yang mengalami penurunan cukup tajam. "Itu juga sejalan dengan penurunan harga baterai litium hingga 97 persen dalam tiga tahun terakhir," katanya pula.
Kementerian ESDM juga mulai menjalankan program Renewable Energy Based on Industrial Development (REBID) yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, panas bumi, biomassa, dan hidrogen guna mendukung industri berenergi hijau.
Selain pengembangan industri hijau di Kalimantan, Papua juga memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan green industry ke depan. "Hal ini mengingat Papua memiliki potensi EBT mencapai 380 gigawatt terutama dari surya dan hidro yang dapat menjadi modal dalam pengembangan REBID," ungkap Arifin.
Adapun saat ini sebagian besar dari kebutuhan energi di Indonesia masih dipenuhi oleh energi berbasis fosil. Yakni 42,4 persen dari kebutuhan dipenuhi oleh batu bara, dan 31,4 persen dari minyak bumi.
"Namun, ke depan, produksi minyak bumi nasional tidak akan mencukupi kebutuhan nasional, padahal konsumsi energi terus meningkat sehingga ketahanan energi akan semakin kritis dan diperlukan transisi energi ke EBT," kata Arifin lagi.