EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Mei 2023 kembali surplus mencapai 0,44 miliar dolar AS. Hanya saja, nilai tersebut menyusut jika dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu sebesar 3,94 miliar dolar AS.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan jika dilihat dari negara tujuan ekspor tradisional memang mengalami tekanan. Bhima menuturkan, Selandia Baru yang terbaru mengalami resesi dan juga Eropa selain itu juga AS yang diproyeksikan ekonominya melambat.
Begitu juga China yang sebagai mitra dagang terbesar Indonesia saat ini ekonominya di bawah ekspektasi pertumbuhannya dan 2024 diperkirakan akan lebih lambat dibandingkan pertumbuhan 2023. “Jadi memang sedang slow down negara-negara partner perdagangan utama Indonesia,” kata Bhima kepada Republika, Kamis (15/6/2023).
Selain itu, Bhima mengatakan faktor lainnya juga karena mulai menurunnya booming harga komoditas. Bhima menjelaskan, selama ini surplus disumbang oleh kenaikan harga batu bara, sawit, nikel, dan lainnya.
“Tapi kalau kita lihat banyak komoditas unggulan ekspor harganya mulai terkoreksi tajam. Jadi kalau booming harga komoditasnya berakhir, surplusnya bisa semakin mengecil, ekspornya akan semakin turun ya nanti bisa berpengaruh juga kepada kualiatas terhadap neraca dagang,” jelas Bhima.
Selain itu, Bhima melihat impor dari dalam negeri juga tertekan. Dia menuturkan, permintaan barang industri manufaktur permintaan bahan baku juga belum terlalu optimal.
“Jadi ada tekanan-tekanan yang bisa kita lihat di permintaan industri dalam negeri mempengaruhi kinerja impor,” ucap Bhima.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan sejak Januari hingga April 2023 masih menikmati surplus perdagangan cukup besar. Meskipun begitu, Faisal mengakui saat ini indikasinya mulai menyusut pada Mei 2023.
“Ini sudah semakin mengarah pada prediksi kami ya bahwa pada 2023 ini surplus perdagangan itu memang menyusut atau mengecil dibandingkan 2022,” jelas Faisal.
Faisal menuturkan, surplus neraca perdagangan pada Mei 2023 disebabkan karena lonjakan dari sisi impor. Faisal mengatakan, impor meningkat lebih pesat walaupun sebenarnya cukup tipis. Sementara ekspor, Faisal mengatakan pertumbuhannya tidak fantastis pada tahun ini.
“Sebenarnya ini karena harga komoditas itu sudah mengalami jauh lebih rendah dibandingkan 2022. Trennya memang terus mengalami penurunan. Paling tidak secara gradual tahun ini,” ungkap Faisal.
Dia menambahkan, impor pada Mei 2023 mengalami peningkatan. Hanya saja, hal tersebut menuurtnya karena bisanya setelah libur Lebaran selalu ada diklus peningkatan ekspor impor.
“Peningkatan impor terbesar terutama terjadi pada impor barang modal. Jadi memang impor barang modal ini mengindikasikan aktivitas produktif. Tapi yang perlu dicatat adalah impor bahan baku penolong itu rendah jadi artinya ini mengindikasikan aktivitas industri belum terlalu kuat karena kebutuhan bahan bakunya itu kecil pertumbuhannya,” jelas Faisal.
Faisal menilai, hal itu sejalan dengan tren purchasing manager indeks yang semakin tipis untuk manufaktur. Untuk itu, Faisal mengakui sudah mulai muncul tren perlambatan bahkan industri manufaktur memiliki kecenderungan mengalami kontraksi tidak lepas karena melemahnya demand di dalam negeri.
Sebelumnya, BPS mencatat surplus neraca perdagangan tersebut didorong oleh nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor. BPS mencatat nilai ekspor pada Mei 2023 mencapai 21,72 miliar dolar AS dan nilai impor sebesar 21,28 miliar dolar AS.
Surplus neraca perdagangan disumbang oleh surplus neraca non minyak dan gas (non migas) sebesar 2,28 miliar dolar AS. Komoditas penyumbang utama yakni bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, dan besi dan baja.
Sementara itu, neraca komoditas migas tercatat defisit 1,82 miliar dolar AS. BPS mencatat, komoditas penyumbangnya yakni minyak mentah dan hasil minyak.