EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, mengatakan pelemahan rupiah dipengaruhi pasar yang masih berhati-hati dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) ke depan.
“Tingkat suku bunga acuan AS yang semakin mendekati suku bunga acuan BI (Bank Indonesia) sedikit banyak bisa mempengaruhi pemilihan investasi para pelaku pasar yang bisa menekan rupiah terhadap dolar AS,” ujar Ariston ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Lebih lanjut, ekspektasi kenaikan memang masih lebih kecil dibandingkan ekspektasi jeda kenaikan. Namun, The Fed disebut masih membuka peluang kenaikan berdasarkan data-data ekonomi terbaru yang masuk.
Selain itu, data Purchasing Managers Index (PMI) China versi Caixin yang menunjukkan kontraksi 49,2 pada Juli 2023 dari 50,5 pada Juni 2023 dinilai memberikan sentimen negatif untuk rupiah.
“Di sisi lain, data manufaktur Indonesia masih terlihat dalam fase ekspansi bisa membantu menahan pelemahan,” ujar Ariston.
Sejak September 2021, PMI Manufaktur Indonesia dinyatakan selalu dalam fase pertumbuhan. “Terakhir di bulan Juli angkanya naik menjadi 53,3 dibandingkan bulan sebelumnya 52,5,” katanya.
Dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena Yen Jepang jatuh dan imbal hasil obligasi Pemerintah Jepang meningkat.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingannya, naik 0,22 persen menjadi 101,8504 pada akhir perdagangan.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi melemah 0,23 persen atau 35 poin menjadi Rp 15.115 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.080 per dolar AS.