EKBIS.CO, JAKARTA — Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri mengatakan, kebijakan hilirisasi nikel yang dijalankan pemerintah saat ini ugal-ugalan. Menurutnya, hilirisasi itu justru mendukung industrialisasi di China di saat Indonesia mengalami deindustrialisasi.
“Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” tulis Faisal dalam situs pribadinya, Jumat (11/8/2023).
Faisal mengatakan, ia mendukung sepenuhnya industrialisasi tapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Ia menuturkan, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun dari 21,1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022. Ini titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Faisal mengatakan, keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional.
“Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit,” ujar dia.
Produk besi dan baja kode HS 72 yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Adapun yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate.
“Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China,” ujar Faisal.
Faisal melanjutkan, setelah tiba di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Kemudian, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia.
Sejauh ini, menurut Faisal, tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai produk jadi. “Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China," kata dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyanggah kritik yang disampaikan Faisal terkait kebijakan hilirisasi sumber daya alam yang hanya menguntungkan negara lain, khususnya China. Faisal sebelumnya mengkritik kebijakan hilirisasi lantaran hasilnya justru lebih menguntungkan China sebagai negara industri yang menyerap hasil hilirisasi nikel di Indonesia.
Jokowi pun menepis kritik Faisal menggunakan data. Presiden menyebut saat nikel diekspor mentahan hanya menghasilkan nilai Rp 17 triliun sedangkan setelah dihilirisasi menjadi Rp 510 triliun. Menurut Jokowi, negara tentu akan lebih mengambil keuntungan besar dari sisi perpajakan.
Faisal Basri merespons kembali sanggahan Presiden Joko Widodo. Ia mempertanyakan data-data yang disampaikan Jokowi. "Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," kata Faisal.
Dalam tulisannya, Faisal mengutip data tahun 2014, di mana nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp 1 triliun. Angka tersebut ia peroleh dari nilai ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama sebesar Rp 11.865 per dolar AS.
"Lalu, dari mana angka Rp 510 triliun ? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun," ujarnya.