Kontribusi manufaktur
Terkait penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, peneliti senior LPEM FEB UI yang juga merupakan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kiki Verico berpendapat bahwa hal tersebut perlu diperbaiki. Namun begitu, Kiki menyebut bahwa kondisi demikian bukan berarti Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi karena tidak mudah untuk mengatakan suatu negara mengalami deindustrialisasi hanya karena sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi.
Ia mendefinisikan deindustrialisasi adalah sebuah kondisi yang dipengaruhi oleh kebijakan yang terjadi akibat ekonomi tidak kompetitif atau terlalu tertutup sehingga menyebabkan inflasi tinggi, nilai tukar tidak stabil, suku bunga tinggi, dan daya saing manufaktur menurun. Inflasi di Indonesia, khususnya sejak 2016, selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, kecuali saat awal pandemi COVID-19 pada 2020 sehingga, menurut dia, tidak bisa dikatakan memicu deindustrialisasi.
Sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global sehingga dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan.
Namun demikian, percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan deviden demografi yang diperkirakan terjadi pada 2037.
Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30 persen. Dengan demikian, pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10 persen.
Sektor manufaktur mengikat daya saing dan investasi global serta menentukan daya saing Indonesia dalam ekonomi global.
Hal itu dapat ditingkatkan melalui transformasi ekonomi yang akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, penciptaan konvergensi dalam ekonomi, penguatan integrasi ekonomi baik bilateral maupun kawasan dan global, serta mendorong total factor productivity (TFP) berupa kegiatan inovasi, serta riset dan pengembangan atau R&D.
Langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur di antaranya meningkatkan kualitas SDM manufaktur termasuk melalui peningkatan investasi manufaktur.
Selanjutnya, terus mendorong ekonomi inklusif manufaktur melalui penerapan teknologi digital. Transformasi struktural manufaktur dilakukan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk industri hijau.
Hasil studi Kiki menunjukkan terdapat negara-negara yang berpotensi menjadi production network bagi sektor manufaktur Indonesia, salah satunya adalah Vietnam.
Indonesia berpotensi bermitra dengan Vietnam, didukung oleh Australia melalui Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia-Australia atau IA-CEPA dan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia Korea Selatan melalui IK-CEPA.
Arah manufaktur masa depan berbasis tambang, seperti nikel, besi, baja, dan timah, termasuk ke arah pengembangan produk baterai untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle dan bagian dari hilirisasi.
Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi yang sangat diharapkan berkembang di Indonesia.