EKBIS.CO, JAKARTA — Proyek food estate atau lumbung pangan baru yang dilakukan di Kalimantan Tengah disebut PDIP sebagai kejahatan lingkungan karena merusak kawasan hutan. Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai proyek ini memang memang membutuhkan waktu untuk mendapatkan hasil optimal.
“Menurut saya tidak ada salahnya diteruskan. Berbeda dengan orang yang menentang food estate, saya bisa memahami mengapa pemerintah membangun food estate,” kata Khudori melalui pesan tertulisnya, Kamis (17/8/2023).
Ia menuturkan, untuk menambah lahan pangan, food estate adalah langkah yang bisa dimaklumi. Harus dipahami, lahan pangan di Indonesia jumlahnya kecil. Lahan sawah, misalnya, hanya 7,46 juta hektare.
Oleh karena itu, dalam konteks secara gradual mengalihkan basis produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa, food estate adalah langkah yang harus diambil. Sebab, mengumpulkan seluruh produksi pangan utama di Jawa justru akan berhadapan dengan fakta bahwa lahan pertanian terus dikonversi menjadi permukiman.
“Masalahnya, food estate yang dirintis sejak tahun 1990-an sampai saat ini belum ada yang berhasil. Ini salah satunya karena food estate dilakukan serampangan, mulai dari perencanaan hingga eksekusi di lapangan,” tegasnya.
Khudori menjelaskan, kawasan food estate rata-rata adalah lahan bukaan baru dari hutan yang perlu disiapkan untuk ditanami. Bukan saja perlu dukungan infrastruktur yang memadai seperti irigasi, bendungan dan jalan, tapi tanah lokasi food estate pun perlu disiapkan agar tanaman yang ditanam bisa tumbuh baik.
“Ini perlu waktu, perlu teknologi tertentu, perlu tenaga lapangan yang cukup dan cakap. Karena, selain lahan bukaan baru, lahan lokasi food estate itu lahan kelas dua, kelas tiga, bahkan empat yang tingkat kesuburannya jauh lebih rendah dari lahan-lahan di Jawa,” kata dia.
Oleh karena itu, hasil dari food estate tak bisa langsung dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat. “Tidak bisa dikejar-kejar dengan cara kerja, kerja, kerja dan akan menghasilkan seperti sulapan,” ujarnya.
Khudori menambahkan, produksi di lahan berbeda dengan produksi industri manufaktur yang sepenuhnya bisa dikontrol. Produksi di lahan ada banyak variabel yang tidak bisa dikontrol.
Oleh sebab itu, program food estate harus diletakkan dalam konteks jangka menengah-panjang. “Kegagalan demi kegagalan program food estate harus menjadi pembelajaran penting untuk memperbaiki program ini di masa depan,” ujar Khudori.