Menurutnya, alasan masalah tak usai karena intervensi pemerintah yang hanya di hilir seperti dengan pemusnahan bibit ayam yang merupakan Final Stock (FS) tanpa adanya pengendalian bibit ayam galur murni atau Grand Parent Stock yang diimpor.
Sebagai catatan, awal produksi ayam berasal itu dari GPS yang menelurkan keluar Parent Stock (PS) lalu dihasilkan FS yang dibesarkan menjadi ayam potong.
“Artinya masalah ini di GPS, kalau yang diurus hanya FS ya percuma,” ujarnya.
Sementara masalah yang dihadapi peternak layer tak jauh berbeda. Belakangan harga jagung pakan yang menyumbang besar biaya produksi telur melambung tinggi dan menekan para peternak layer.
Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera Lokal Kendal, Suwardi menuturkan, harga jagung pakan dari para petani lokal kian mahal bahkan telah menyentuh Rp 7.500 per kg jauh lebih tinggi dari acuan Rp 5.000 per kg.
“Mulai Mei 2023, sudah Rp 6.000 per kg dan sampai hari ini sudah Rp 6.500 per kg yang diterima peternak. Itu bagi peternak yang bisa beli. Di Poultry, harga jagung giling sudah Rp 7.000 per kg,” kata Suwardi di hadapan para anggota Komisi IV.
Adapun sesuai acuan pemerintah dalam Perbadan 5 Tahun 2022, batas bawah harga telur di tingkat konsumen Rp 22 ribu per kg dan batas atas Rp 24 ribu per kg.
Sementara harga yang diterima saat ini hanya Rp 20.500 terutama di Blitar. yang jadi sentra nasional. “Jadi peternak sudah tanggung rugi. Hari ini harusnya, harga pokok produksi Rp 24.700 per kg, itu baru peternak bisa hidup dengan kondisi harga jagung saat ini,” ujar Suwardi.