EKBIS.CO, JAKARTA -- Dewan Komisioner dan Ekonom Senior Indef Bustanul Arifin mengatakan, perubahan iklim global menjadi penyebab awal yang membuat harga beras melonjak. Bustanul mengatakan, kenaikan suhu bumi mencapai 1,5 derajat celsius dalam 120 tahun terakhir dan diperkirakan terus meningkat hingga dua derajat celsius.
"Dampaknya bumi menyala, es di kutub mencair, dan permukaan air laut sudah naik 3,9 mm per tahun. Itu sangat tinggi sekali, saya ngeri ada beberapa pulau yang tenggelam," ujar Bustanul dalam diskusi publik yang bertajuk "Waspada Bola Panas Harga Beras" di Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), ucap dia, memperkirakan terjadi kenaikan air laut 60 cm pada 2000-2100. Kondisi ini membuat udara yang kian panas dan siang yang lebih panjang dari biasanya.
"Hal ini memengaruhi proses pematangan dari padi. Proses pematangan yang terlalu lama siangnya atau panasnya biasanya menghasilkan hampa, yang membuat gabahnya jadi kosong, ini sudah pasti mengurangi produksi, lalu suplai berkurang, dan harga tinggi. Itu logikanya," ucap dia.
Bustanul menyampaikan pemanasan global diperparah dengan adanya dua fenomena El Nino Sothern Oscillation (ENSO) atau memanasnya suhu muka laut (SML) di atas normal di pasifik tengah dan timur serta Indian Ocean Dipole (IOD) atau fenomena laut atmosfer di Samudera Hindia berdasarkan nomali SML di pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera.
"Setelah pemanasan global ada dua peristiwa, namanya ENSO dan IOD yang berhubungan dengan air laut yang membawa uap panas," lanjutnya.
Bustanul menyampaikan faktor-faktor ini berkontribusi dalam melonjaknya harga beras. Pasalnya, kekeringan ekstrem yang terjadi pada fase generatif akan mengurangi kemampuan tanaman untuk berproduksi. Bustanul menyampaikan hal ini dapat terlihat jelas dalam penurunan luas panen maupun produktivitas pada Januari-September 2023 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dia memerinci luas panen pada Januari-September 2023 tercatat sebesar 8,62 juta hektare yang turun 0,07 juta hektare atau 0,86 persen dari luas panen 2022 yang sebesar 8,69 juta hektare.
Dengan produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 44,48 juta ton pada 2023 yang turun 0,95 juta ton atau 2,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 45,43 juta ton. Dengan begjtu, lanjut Bustanul, tak mengherankan jika produksi beras Indonesia hanya 25,63 juta ton pada Januari-September 2023 yang berarti turun 0,54 juta ton atau 2,08 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya dengan 26,17 juta ton beras.
"Belum lagi kalau lihat faktor global, di mana terjadi dinamika akibat invasi Rusia dan India yang melarang ekspor beras ikut melonjakkan harga beras," kata Bustanul.