EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya meningkatkan kualitas produk industri melalui upaya standardisasi industri berupa pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib pada produk hasil industri. Pemberlakuan SNI itu diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas produk industri dalam negeri lewat berbagai standar yang telah ditetapkan dan juga untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk impor berkualitas rendah atau trade barrier.
“Maraknya peredaran barang impor di pasar dan platform digital (e-commerce) saat ini, membuat bapak presiden memberikan arahan agar fokus pada pengetatan impor komoditas tertentu," ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Komoditas dimaksud meliputi pakaian jadi, mainan anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi, obat tradisional, suplemen kesehatan, serta tas. Ia mengemukakan, saat ini pengawasan yang sifatnya post-border akan diubah menjadi pengawasan di border. Itu dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan juga Laporan Surveyor (LS).
Dari total sebanyak 11.415 HS, terdapat ketentuan tata niaga impor (Larangan atau Pembatasan atau Lartas) terhadap 6.910 HS (sekitar 60,5 persen) dan sisanya sekitar 39,5 persen merupakan barang nonlartas. “Dari 60,5 persen komoditas yang terkena lartas tersebut, sebanyak 3.662 HS (32,1 persen) dilakukan pengawasan di border dan sebanyak 3.248 HS (28,4 persen) dilakukan pengawasan post-border,” jelas dia.
Terkait itu, Kemenperin merevisi atau melakukan perbaikan peraturan untuk mengakomodasi perubahan pengawasan dari post-border menjadi border tersebut dalam waktu dua pekan. Menperin, lanjutnya, mendapat usulan beberapa industri di kawasan berikat yang ingin menjual produknya di pasar domestik dengan melepas berbagai fasilitas yang didapatkan, ini perlu juga diawasi secara ketat.
Itu juga dikarenakan Kemenperin sampai saat ini belum memiliki akses data yang cukup valid terkait kuantitas produk dari kawasan berikat. “Jika industri yang berada di kawasan berikat yang ingin menjual produknya ke dalam negeri, maka harus diciptakan playing field yang sama antara kawasan berikat dengan nonberikat agar tercipta fairness," tuturnya.
Hal tersebut supaya industri di kawasan berikat tidak menjadi predator bagi industri di luar kawasan berikat yang tidak menerima insentif sama. Ia menyebutkan, dalam upaya menetapkan kebijakan, diperlukan data dan informasi yang tepat.
Sehingga, Kemenperin akhirnya harus membuat studi sendiri untuk menetapkan jumlah kawasan berikat di Indonesia. “Ini menjadi problem, kalau tidak terbuka satu sama lain terkait data, Kemenperin sebagai pembina industri tidak bisa melakukan tugas secara maksimal,” tutur dia.
Agus juga menekankan pentingnya keterbukaan dan transparansi terkait data, termasuk dalam upaya pengendalian impor. Kemenperin, kata dia, telah mengusulkan agar langkah ini dilakukan melalui neraca komoditas yang sesuai supply and demand nasional.