EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia menerbitkan instrumen Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) untuk menarik masuknya modal asing ke pasar keuangan domestik di tengah risiko global yang meningkat.
“Penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter yang pro-market untuk pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik portfolio inflows (modal asing portofolio),” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Instrumen baru tersebut, kata Perry, akan menggunakan aset surat berharga dalam valuta asing yang dimiliki BI sebagai underlying. SVBI dan SUVBI, akan mulai diimplementasikan pada 21 November 2023 sebagai instrumen operasi moneter valas.
SVBI akan diterbitkan pada tenor 1, 3, 6, 9, 12 bulan, sedangkan SUVBI akan diterbitkan dengan tenor 1, 3, dan 6 bulan dengan settlement T+2.
Bank sentral, kata Perry, juga akan melanjutkan intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
BI pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen.
Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global, serta sebagai langkah antisipatif dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.
BI mencatat nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03 persen (year to date/ytd) karena terus menguatnya dolar AS. Dibandingkan akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,21 atau menguat 2,60 persen (ytd).
Sangat kuatnya dolar AS ini memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia, seperti yen Jepang, dolar Australia, dan euro yang melemah masing-masing 12,44 persen, 6,61 persen dan 1,40 persen (ytd), serta depresiasi mata uang kawasan, seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan peso Filipina masing-masing 7,23 persen, 4,64 persen dan 1,73 persen (ytd).