EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan pelemahan rupiah dipengaruhi data ekonomi Amerika (AS) yang lebih kuat.
“Ini menegaskan kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan lebih lama dan mendorong permintaan dolar AS yang lebih kuat,” ujar dia, Kamis (26/10/2023).
Data AS tersebut ialah Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur AS sebesar 50,0 dengan ekspektasi 49,5. Selain itu, pasar memperkirakan data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal II 2023 yang akan dirilis malam ini tumbuh 4,3 persen.
Pada Jumat (27/10), investor tertuju data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS yang diprediksi meningkat 0,3 persen month to month (MtM) dan 3,7 persen year on year (YoY).
Menurut Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong, rupiah melemah pasca imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik tipis, melanjutkan pergerakan menuju level tertinggi dalam 16 tahun sebesar 5 persen yang sempat ditembus pada awal pekan.
"Pidato Powell (Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell) semalam juga cenderung sedikit lebih hawkish. Tidak ada data ekonomi dari China hari ini, ekonomi China yang masih di bawah harapan akan terus menekan mata uang regional dan Asia, termasuk rupiah," ungkap Lukman.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 50 poin atau 0,31 persen menjadi Rp 15.920 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp 15.870 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis turut melemah ke posisi Rp 15.933 dari sebelumnya Rp 15.871 per dolar AS.