EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk telah menyiapkan sejumlah strategi menghadapi risiko pelemahan rupiah. Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengakui pelemahan rupiah berpotensi meningkatkan risiko kredit pada debitur dengan pinjaman dalam valuta asing (valas).
"Dengan kondisi nilai tukar yang melemah saat ini, secara ekuivalen rupiah nilai kewajiban debitur menjadi semakin besar," kata Darmawan di Jakarta, Senin (30/10/2023).
Menurut Darmawan, bank perlu memonitor secara disiplin debitur valas yang pendapatannya dalam rupiah untuk memastikan kemampuan membayar kewajiban dari debitur. Sebagai langkah antisipatif, Bank Mandiri mempunyai sistem petingatan dini untuk mendeteksi penurunan kinerja debitur.
Selain itu, Bank Mandiri terus mendorong pertumbuhan kredit rupiah. Oleh sebab itu, Darmawan mengungkapkan, pertumbuhan kredit rupiah di Bank Mandiri secara bank only lebih tinggi dibandingkan kredit valas yang mencapai 13,1 persen yoy.
Terkait pendanaan valas, Bank Mandiri terus mengoptimalkan potensi dari nasabah eksportir dengan penyediaan berbagai solusi finansial melalui platform Kopra termasuk pemanfaatan instrumen Devisa Hasil Eskpor (DHE). Dana Pihak Ketiga (DPK) valas Bank Mandiri tumbuh sebesar 9,83 persen yoy mencapai 14,9 miliar dolar AS.
Untuk memperkuat likuiditas valas, Bank Mandiri juga sudah menerbitkan global bonds pada April lalu sebesar 300 juta dolar AS. Kewajiban atas global bond ini dipenuhi dari arus kas aset Bank Mandiri sehingga kewajiban surat utang tersebut tidak terpapar risiko nilai tukar.
Darmawan melihat, volatilitas pasar spot dolar AS-rupiah yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh faktor global, terutama dipengaruhi suku bunga bank sentral AS yang masih akan terus meningkat beberapa waktu ke depan. Selain itu, tekanan juga berasal dari krisis geopolitik di Timur Tengah.
Namun, Darmawan menilai dampak volatilitas rupiah terhadap ekonomi domestik akan relatif terbatas. Sebabnya, fundamental perekonomian Indonesia saat ini cukup baik tercermin dari konsumsi dan investasi yang masih tetap tumbuh, inflasi terjaga di level yang rendah serta neraca perdagangan yang masih terus surplus.