EKBIS.CO, JAKARTA -- Rupiah di awal perdagangan Kamis pagi menguat dipengaruhi oleh penurunan yield atau imbal hasil obligasi Pemerintah Amerika Serikat (AS).
"Yield obligasi Treasury AS untuk tenor 10 tahun turun ke bawah 3,8 persen, menandai titik terendahnya sejak 21 Juli 2023," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede di Jakarta, Kamis (28/12/2023).
Menurunnya imbal hasil obligasi Pemerintah AS disebabkan oleh keyakinan pasar bahwa data ekonomi AS terkini memberikan dukungan bagi Bank Sentral AS atau The Fed untuk mempertimbangkan pemotongan suku bunga acuan lebih awal pada 2024.
Saham-saham AS juga mengalami kenaikan didorong oleh naiknya ekspektasi terhadap pemotongan suku bunga kebijakan oleh The Fed pada Maret 2024. S&P 500 naik 0,14 persen, Nasdaq mengalami kenaikan 0,16 persen, sementara Dow ditutup 0,30 persen lebih tinggi.
Selain itu, Josua menuturkan penguatan rupiah juga didorong oleh berlanjutnya pelemahan indeks dolar AS karena semakin kuatnya ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Fed yang cenderung semakin dovish ke depannya.
Indeks dolar AS turun ke bawah 101, menandai titik terendahnya dalam lima bulan terakhir. Pasar masih melihat ruang pemotongan suku bunga acuan akan mulai terbuka pada Maret 2024.
Dari kawasan Asia Pasifik, para investor terus menilai prospek ekonomi China ke depannya di tengah harapan bahwa People's Bank of China (PBoC) akan kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan dan rasio reserve requirement pada 2024. Harapan tersebut memberikan sentimen positif pada outlook ekonomi kawasan Asia Pasifik.
Josua memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berada di rentang Rp 15.380 per dolar AS hingga Rp 15.530 per dolar AS pada perdagangan Kamis ini.
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi meningkat 47 poin atau 0,30 persen menjadi Rp 15.383 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.430 per dolar AS.