EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 relatif baik. Bahkan, capaian pada tahun lalu menjadi yang terbaik pascapandemi.
"Jadi, cerita APBN 2023 the end of journey sejak pandemi. Akhir dari perjalanan sejak shock pandemi terjadi ditutup dengan husnul khatimah atau sangat baik," ucap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN 2023 di Gedung Djuanda 1, Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (2/1/2024).
Ia menuturkan, APBN 2023 mencatat defisit Rp 347,6 triliun atau 1,65 persen terhadap produk domestik bruto dan turun hingga 24,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Realisasi defisit APBN, lebih rendah dari yang ditargetkan saat APBN awal sebesar Rp 598,2 triliun. Realisasi defisit APBN juga lebih rendah dari yang ditargetkan dalam APBN awal sebesar Rp 598,2 triliun dan Perpres 75/2023 sebesar Rp 479,9 triliun.
"Defisit tadinya 2,84 persen terhadap PDB, kemudian direvisi melalui Perpres 75/2023 sebesar 2,27 persen, ternyata realisasinya 1,65 persen terhadap PDB," ungkap Sri Mulyani.
Lebih lanjut Sri Mulyani menuturkan, pencapaian pada 2023 cukup baik bila dibandingkan pada awal pandemi Covid-19 di tahun 2020. Saat itu, Indonesia sempat mengalami defisit hingga Rp 947,7 triliun atau 6,14 persen terhadap PDB.
Kemudian tahun 2021 defisit APBN mencapai Rp 775,1 triliun atau 4,57 persen terhadap PDB dan di tahun 2022 sebesar Rp 460,4 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB. Pencapaian di tahun 2023 ini menjadi cerita yang baik dengan adanya keseimbangan primer surplus Rp 92,2 triliun.
"Bayangkan tadinya kita susun di awal defisit Rp 156,8 triliun kemudian kita revisi ke Rp 38,5 triliun tapi berakhirnya surplus," tuturnya.
Kinerja pendapatan negara 2023 pun terlihat kuat dengan realisasi Rp 2.774,3 triliun atau tembus 105,2 persen dari target Perpres 75/2023 sebesar Rp 2.637,2 triliun. Dalam penerimaan pajak pun melampaui target Rp 1.869,2 triliun atau 108,8 persen dari target dalam Perpres 75/2023 sebesar Rp 1.818,2 triliun atau tumbuh 8,9 persen (yoy).
Untuk penerimaan bea dan cukai tercatat Rp286,2 triliun atau 95,4 persen dari target Rp300,1 triliun. Namun, penerimaan bea dan cukai tercatat kontraksi 9,9 persen (yoy).
Selanjutnya, PNBP dan hibah realisasinya melampaui target dalam Perpres 75/2023, masing-masing Rp605,9 triliun dan Rp 13 triliun. Capaian ini menurutnya merupakan hasil kerja keras yang luar biasa di tengah kondisi komoditas yang jatuh dan ekonomi dunia yang melemah, namun kondisi ekonomi Indonesia masih cukup kuat.
Untuk belanja negara realisasinya adalah Rp3.121,9 triliun atau 100,2 persen dari Perpres 75/2023 yakni sebesar Rp3.117,2 triliun. Artinya, belanja negara tercatat tumbuh 0,8 persen (yoy).
Adapun rinciannya adalah belanja pemerintah pusat Rp 2.240,6 triliun atau 97,3 persen dari target namun capaian ini turun 1,7 persen (yoy). Belanja Kementerian dan Lembaga mencapai Rp 1.153,5 triliun atau melampaui target hingga 115,2 persen dan tumbuh 6,3 persen (yoy).
Namun, untuk belanja non-kementerian dan Lembaga realisasinya hanya Rp 1.087,2 triliun atau hanya 83,5 persen dari target. Bahkan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu justru turun 9 persen (yoy).
Menurut Sri Mulyani, penurunan ini karena faktor harga komoditas terutama minyak yang menyebabkan belanja untuk kompensasi lebih rendah dari yang dianggarkan. Asumsi harga minyak di APBN awal adalah 90 dolar AS per barel, namun realisasinya hanya 78 dolar AS per barel.
Sedangkan transfer ke daerah tercatat menjadi yang tertinggi dalam sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp 881,3 triliun atau 108,2 persen dari target. Realisasi ini lebih tinggi dari APBN awal sebesar Rp 814,7 triliun.
"Kami pun transfernya jauh lebih tinggi karena dana bagi hasil," ucap Sri Mulyani.
Ia menambahkan, untuk pembiayaan anggaran sepanjang 2023 mencapai Rp 359,5 triliun. Realisasi ini hanya mencapai 74,9 persen dibandingkan target dalam Perpres 75/2023 sebesar Rp 479,9 triliun. Untuk pembiayaan anggaran juga mengalami penurunan hingga 39,2 persen (yoy).